Suasana Subuh | Wudhu Berujung Rindu (Part 6)


Saat kaki ini melangkah keluar, tiba-tiba ada seseorang memanggilku.

"Kang Hafidz." Aku pun menghentikan langkahku seraya memasang telinga, agar tidak salah dengar.

"Aku mencintaimu, Kang." Ucapan itu menggelegar di sebuah ruangan. Aku sungguh tak percaya, seorang gadis mengungkapkan perasaannya di depan semua santri.

"Sungguh, Kang. Aku benar-benar mencintaimu," ulang gadis berwajah bulat itu. Entah apa yang membuat gadis itu nekat, ia tidak memperdulikan sama sekali hakikat seorang perempuan.

Sorakan dari para santri bersahutan sampai terdengar ke ndalem. Ning Jannah yang tengah mengajar di TPQ, sesegera mungkin keluar dan memastikan bahwa kericuhan itu berasal dari ruangan sebrang. Ternyata dugaannya benar, ia pun langsung menghampiri kedua orang tuanya tepat di halaman rumahnya.

Celotehan dari semua santri semakin menjadi-jadi, "Assalamu'alaikum Bah, Mii. Ayo kita lihat, tidak seperti biasanya di majlis seramai itu!" ucap Ning Jannah sembari menyalami keduanya.

"Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh." Abah Yai dan Bu Nyai menjawab berbarengan. Ketiganya berjalan menuju tempat itu.

Tepat di ambang pintu, keluarga ndalem tersontak kaget menyaksikan sosok perempuan sedang bertekuk lutut di depan seorang pria berkopiah hitam. Bu Nyai dan Ning Jannah menutup mulutnya.

"Allahurabbi, apa-apain ini?!" seru Abah Yai, wajahnya merah padam. Pemuda itu tak berkutik sama sekali, seperti para santri yang lainnya. Sebab, baru kali ini mereka melihat Abah Yai marah.

Bu Nyai memeluk putri sulungnya, ia sangat khawatir kalau suaminya itu di kuasai hawa nafsu, "Bah, sabar. Jangan sampai syaithon mengelabui pikiran Abah!" lirihnya meneteskan air mata.

"Betul yang dikatakan Umii, Bah." Ning Jannah memperkuat perkataan Bu Nyai. Abah Yai menghela nafas dan beristighfar beberapa kali.

"Mohon maaf Abah, Bu Nyai. Minah lancang, tak ada pilihan lain. Minah hanya ingin menikah dengan Kang Hafidz," ungkap Nurjaminah memelas.

Hal itu membuat Abah Yai bungkam, "Nurjaminah! Ingat iffah!" bentaknya.

Ning Jannah memberi kode pada Hafidz agar cepat meninggalkan majlis, karena jika masih berada di sini Nurjaminah tidak akan berhenti. Hafidz yang sedari mematung, akhirnya pergi keluar.

Dug! ...

Aduh! ...

"Alhamdulillah, Yaa Allah. Ini semua hanya mimpi." Aku terbangun. Kemudian, bermonolog dalam hati, "Apa maksud dari semua ini? Bagaimana bisa ana bermimpi seaneh ini? Apa karena saputangan itu?"

***

Netraku melihat ke arah jam dinding, waktu menujukkan pukul 02.15. Alhamdulillah masih ada waktu untuk sholat tahajud. Aku beranjak dari tempat tidur bergegas menuju mesjid, tak lupa mengambil air wudhu terlebih dahulu.

Setelah melaksanakan sholat 2 roka'at, ku tadahkan kedua tanganku mohon ampun padamu tuhan pengasih dan penyayang.

"Bismillahirrahmaanirrahiim, Allahumma Lakal Hamdu Anta Qayyimus Samaawaati Wal Ardhi Wa Man Fiihinn. Wa Lakal Hamdu Mulkus Samaawaati Wal Ardhi Wa Man Fiihinn. Wa Lakal Hamdu Nuurus Samaawaati Wal Ardhi, Wa Lakal Hamdu Antal Haqqu, Wa Wa'dukal Haqqu, Wa Liqoo-ukal Haqqun, Wa Qouluka Haqqun, Wa Jannatu Haqqun, Wan Naaru Haqqun, Wa Nabiyyuna Haqqun, Wa Muhammadun Shallahu 'Alaihi Wa Sallama Haqqun, Was Saa'atu Haqqun. Allahumma Laka Aslamtu, Wa Bika Aamantu, Wa 'Alaika Tawakkaltu, Wa Ilaika Anabtu, Wa Bika Khashamtu, Wa Ilaika Haakamtu, Faghfiri Maa Qoddamtu, Wa Maa Akh-khartu, Wa Maa Asrartu, Wa Maa A'lantu Antal Muqaddimu, Wa Antal Muakh-khiru, Laa Ilaaha Illaa Anta, Au Laa Ilaaha Ghairuka Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah, Aamiin Yaa Allah Yaa Rabbal'aalamiin."

Seketika aku terhanyut dalam lamunan. Bagaimana pun barang itu harus aku kembalikan secepat mungkin, tidak enak juga jika terlalu lama ku simpan. Semoga aja dengan mengembalikan saputangannya, bisa membuat hatiku lebih tenang dan bisa mengstabilkan perasaan yang sering muncul ini.

Sambil menunggu waktu fajar, aku memutuskan untuk membaca Al-Qur'an. Sebab, salah satu hikmah dari membaca Al-Qur'an adalah memberi ketenangan bagi pembacanya.

***

Di sisi lain, tepatnya di sebuah kamar pondok santri putra terdapat 2 orang pemuda yang tengah terlelap. Mereka berdua saling tarik sarung dan berebut bantal dalam keadaan mata tertutup. Siapa lagi kalau bukan Alfian dan Jihad.

Euh! ...

"Sini, ini punya ana!" pinta Alfian sembari menggeliat.

Plak! ...

Satu tamparan mendarat tepat di pipi lucu Alfian, membuatnya terbangun dan kesal.

"Jihad!" murka pria itu mengucek matanya.

"Huaaahhh ...,"

Jihad menguap, lagi-lagi sebelah lengannya melayang di perut Alfian.

Krekkk! ...

"Awas aja, loh. Sakit tahu!" ancam Alfian senyum menyeringai.

Alfian mengambil bebarapa kertas di laci lemari, sepertinya ia mempunyai sebuah rencana. Selain itu juga, ia mengambil air minum dan menyiramkannya ke kertas yang sudah di bentuk bulat. Setelah kertas tersebut basah, ia mendekati Jihad yang sedang menguap.

Bresss!

Kertas itu berhasil masuk ke mulut Jihad.

"Yeee, yee berhasil. Wididit, berhasil." Alfian berjingkrak-jingkrang bak si Dora.

Tak lama kemudian ...

Oekk! ... Uhuk! ... Puhhh! ...

Jihad refleks memuncratkan semua yang ada di mulutnya tepat di muka Alfian. Pria yang ada di hadapannya mengepalkan tangan, pagi buta seperti ini sudah di buat jengkel oleh si Bule Sunda.

Bugh! ...

Bugh! ... Bugh! ...

Tiga pukulan mengenai sasaran yang tak lain tepat di perut Jihad, sedangkan orang yang dipukul setengah sadar. Maklum saja nyawanya belum terkumpul semua, namanya juga baru bangun. Alfian semakin geram, ia menutup seluruh tubuh Jihad dengan sarung. Kemudian, ia naik ke atasnya dan pria berpeci putih itu tersadar.

"Alfian, hey! Turun, berat nyao! Nyareuri awak, steh!" Jihad berusaha bangkit dan ...

Terjemah :
"Alfian, hey! Turun, berat tahu! Badan pada sakit, nih!" Jihad berusaha bangkit dan ...

Bruk! ..

Alfian terjatuh, ia meringis kesakitan. Sekarang ia menyerah, tidak mau lagi mengusili Jihad.

"Kapok ana kapok, pagi-pagi udah sial!" umpat Alfian.

Jihad merasa bersalah, "Punteun Alfian, punteun. Jihad nu lepat," cakapnya sendu.

Terjemah :
Jihad merasa bersalah, "Maaf Alfian, Maaf. Jihad yang salah," cakapnya sendu.

"Tak nak," ujar Alfian menggelengkan kepala.

Jihad memutar bola matanya berpikir sejenak, "Yaudah, ana mau minta maafnya sama Nurapilah aja. Terus nanti dia suka sama ana, sekaligus di kasih restu sama Hafidz. Oh indahnya hidupku sa-"

Stop! ..

Potong Alfian seraya berjoget, "Stop kau mencuri hatiku, hatiku. Stop kau mencuri hatiku. Mimpimu, mimpi-mimpi manis."

Whahaha keduanya tergelak sampai terdengar lantunan suara adzan yang begitu merdu, membuat semua orang yang mendengarnya terbawa suasana.

"Subhaanallah ..," puji para santri putra.

"Bangun, bangun."

"Ayo kita ke mesjid!"

***

Ash-sholaatu Khoirum Minan Naum,
Ash-sholaatu Khoirum Minan Naum ..
Allahu Akbar .. Allahu Akbar,
Laa Ilaaha Illaallah ..

Tempat wudhu sudah penuh oleh santri putri, termasuk sepasang sahabat. Nurapilah memperhatikan sahabatnya tengah mengintip pria yang baru selesai mengumandangkan adzan di balik jendela, ia menduga bahwa Nurjaminah menyukai sang Kakak. Siapa lagi kalau bukan Hafidz, entah kenapa feeling nya yakin ke sana.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel