Cinta Itu Seperti Ilmu Sorof | Wudhu Berujung Rindu (Part 7)


Melihat Nurjaminah mematung, hal ini membuat sahabatnya semakin penasaran. Ketika hendak bertanya, sahabatnya di kejutkan oleh suara iqomah yang tengah di kumandangkan sang Kakak. Sepasang sahabat itu dengan segera mengambil air wudhu seraya bergegas masuk ke dalam mesjid.

"Mbak, apakah aku boleh bertanya sesuatu hal?"

Mendengar pertanyaan dari Nurapilah netranya membulat sempurna, seolah-olah Nurjaminah syok. Jujur saja, kini hati gadis berusia 19 tahun itu di rendum kegelisahan. Apakah sedari tadi sahabatnya itu memperhatikan setiap gelagatnya? Apa ia mengetahui tentang perasaan ini ke Kang Hafidz? Atau bisa jadi, ia tidak terima jika ada orang yang menyukai pria bersuara merdu itu? ...

"Mbak, kok bengong sih." Nurapilah berhasil membuat sahabatnya tersadar dari lamunan.

"Hah, apa?"

Gadis bermata blo itu menggelengkan kepalanya, ia tak mengerti dengan sikap Nurjaminah yang akhir-akhir ini berubah. Sebab, sahabatnya yang satu ini seperti menyembunyikan sesuatu. Nurapilah hanya beristighfar, karena sebagai umat islam kita dilarang untuk bersikap suudzon pada siapa pun. Baik itu kepada Allah ataupun ke sesama makhluk yang diciptakannya, apalagi terhadap sahabat sendiri. Ya, tentunya itu sangat tidak boleh! 

Semua orang yang ada di dalam sana melaksanakan sholat subuh berjama'ah. Setelah menunaikan sholat, para santri tidak langsung kembali ke kamarnya. Namun, mereka harus melakukan sorogan Al-Qur'an pada santri pengabdi. Baik itu santriyin maupun santriyat, ini merupakan kegiatan utama di pagi hari.

***

Para santri putra di bagi menjadi 2 kelompok. Alfian dan Jihad di kelompok pertama yaitu membimbing santri junior yang usia maksimalnya 15 tahun, sedangkan aku dan Kang Rifki di kelompok kedua bagian santri lama atau bisa di bilang usianya banyak yang sebaya denganku. Awalnya aku ragu dan tidak percaya diri, karena aku merasa belum pantas dengan semua tugas ini. Namun, Alhamdulillah Abah Yai selalu memotivasi kami berempat.

"Kita mulai, ya. Bismillahirrahmaanirrahiim," ucapku sembari tersenyum. Santri di depanku membuka kitab suci Al-Qur'an seraya memulai sorogannya, aku memperhatikan serta mendengarkan secara seksama. Jika ada yang kurang tepat dengan izin Allah aku akan menegur dan membenarkannya. Sebab, salah membaca satu huruf saja itu bisa merubah makna.

Sudah mau 3 makro alhamdulillah bacaannya sempurna, tiba-tiba aku mendengar ... "Coba ulangi yang barusan!" pintaku.

Angguknya, "Yaa ayyuhalladziina amanuu idzaa ...," 

"Yaa ayyuhalladziina aamanuu 
... Ingat! Aamanuu di sini artinya beriman. 'Kan sudah jelas alifnya berharokat fatah berdiri, jadi harus dibaca agak panjang. Kalau cara Akang barusan membaca itu artinya bukan beriman, melainkan aman," jelasku menatap tenang Kang Syafar. Lanjutku, " Fahim, Kang? Ayo baca ulang dan lanjutkan kembali." Pria yang kira-kira usianya sama denganku, yaitu 20 tahun melanjutkan kembali sampai dengan selesai.

Di sudut lain ... 

"Ayo dong, Fajar yang serius ngajinya." Alfian dengan wajah memelas, ia kewalahan pada Bocil yang satu ini. Bukannya duduk ia malah tak bisa diam dan membacanya pun sambil di iringi tawa. Maklum saja umurnya masih 7 tahun dan Fajar sendiri tergolong anak superaktif.

Anak itu menampakan deretan giginya yang rongah. Sekarang kakinya di angkat satu bak orang yang mau lari sprint, "Ini udah serius, Kok. Aku gak lagi bercanda, Kang Fian!" katanya sembari mencubit dagu Alfian.

'Lah, ini bocah kelakuannya gini amat. Apa ini karma buat ana, karena waktu kecil saat diajarin ngaji oleh Papahku suka lari-larian? Kalau iya, maapkan ana yaa rabb ...,' benaknya. 

Pria berpeci motif itu berusaha membenarkan posisi duduk Fajar, anak itu menurut begitu saja. Tidak seperti biasanya, pasti ada sesuatu yang di rencanakan. Tak menunggu lama ...

Ciatttttt! ... 

Fajar loncat ke pangkuan Alfian. Posisi antara Alfian dan anak itu membentuk leter L, otomatis sang Bocil tidak meloncati Al-Qur'an. Semua mata terjutu pada keduanya, karena suara Fajar yang berteriak cukup nyaring terdengar di mesjid. Alfian mencoba menurunkan anak itu, tapi hasilnya nol besar. 

"Aduh!" lirih Alfian. Lanjutnya, "Bantuin ana, Jihad!" serunya. Sebab, tidak kuat lagi rambutnya di tarik-tarik oleh Fajar.

Jihad merasa iba pada sohibnya, "Lanjutin aja. Kakak ke sana dulu ya, Fatah!" Ia beranjak, Fatah hanya manggut-manggut kecil.

Pria berpeci putih itu melangkah pelan dan mengambil ancang-ancang untuk menangkap anak yang bernama Fajar. Namun sayang, anak itu menyadari bahwa tepat di belakangnya ada seseorang. Fajar senyum menyeringai, sedangkan Alfian memberi kode menggunakan jari tangan pada Jihad. 

Bruk, jleg! ...

Badan Alfian serasa remuk, tertindih oleh sohibnya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Semua orang tergelak menyaksikan kejadian konyol barusan, Jihad pun bangkit dan membantu pria berpeci motif itu. 

"Bisa-bisanya kita di kerjain si Bocil tengik, huh!" gerutu Alfian.

Jihad mencari-cari keberadaan Fajar, pandangannya terhenti saat melihat anak itu sedang sorogan pada Hafidz. Sohibnya yang itu sangat mempunyai bakat sehingga anak itu duduk manis bersila, "Alhamdulillah ... Si Bocil udah sama Hafidz, noh. Ayo kembali ke tempat masing-masing!" tegas Jihad.

"Siap, laksanakan!" jawab Alfian di ikuti Tet Tereroret Tetet Tetet bak sedang upacara.

***

Setelah selesai sorogan Al-Qur'an para santri kembali ke pondok masing-masing, sekarang ini waktunya giat pribadi. Aku membuka laci lemari dan mengambil sebuah kain kecil persegi berwarna merah muda. Tak lupa aku mengambil tinta dan menuliskan sesuatu, lalu ku masukan pada saputangan yang sudah kulipat.

Dengan mengucap basmallah, ku langkahkan kaki ini menuju pondok putri. Tak berani pergi sendiri, bukan karena aku tak jentel. Namun, tidak enak jika ada keluarga ndalem yang melihatku. Akhirnya, aku mengajak Jihad. Mungkin pada bertanya kenapa Alfian gak di ajak? Orang aku akan menemui Nurapilah, sementara Alfian itu suka sama adikku. Bisa-bisa dijadikan kesempatan, oh tidak bisa! 

Si Bulsun pun melemparkan pertanyaan, "Bade kamana, Fidz? Terus si Alfian kamana nya asa teu katingali?"

Terjemah :
Si Bulsun pun melemparkan pertanyaan, "Mau kemana, Fidz? Terus si Alfian kemana ya kok gak kelihatan?"

"Mau nitip ini ke Adik ana. Perihal Alfian ana gak terlalu tahu, tadi sih ana lihat ia ke arah WC umum."

 Jihad menahan tawa saat aku menunjukkan kain yang ada di tanganku, mungkin karena warnanya yang lucu atau pemiliknya? Entahlah .. Astaghfirullah. 

Bentang lapang tengah terpapar sinar matahari yang baru terbit membuat suasana menjadi lumayan hangat. Aku melihat sosok adikku sedang berjalan, sebelum menghampirinya aku memastikan terlebih dahulu takutnya salah orang. 'Kan malu juga, ternyata benar. Aku melangkah dengan cepat, di ikuti oleh Jihad. 

"Assalamu'alaikum, Dik. Tolong berikan ini pada pemiliknya, Mas tahu kamu pasti mengenalinya." Seperti biasa, Nurapilah menjawab salam tak lupa mencium tanganku.

Binar Adikku penuh selidik, "Oh, jadi Mas yang ngambil? Jangan-jangan-"

"Udah, ah. Kasih aja! Mas mau balik lagi ke pondok putra. Jaga diri baik-baik, ya! Assalamu'alaikum," potongku mengalihkan pembicaraan, Nurapilah kembali menyalami tanganku seraya pergi.

Aku dan Jihad berbalik badan, terasa begitu nikmat pancaran mentari yang menyeruak tepat di pungguku.

"Tiris, ih. Moyan heula, yu!"ajak Jihad, sementara aku menautkan kedua alis.

Terjemah :
"Dingin, ih. Berjemur dulu, yuk!" ajak Jihad, sementara aku menautkan kedua alis.

"Mo-monan, itu apa?" Jihad tertawa keras, membuat semua orang yang di sekeliling kami menatap penasaran.

Jihad berhenti dan berkata, "Moyan bukan monan. Kalau dalam bahasa Indonesia itu berjemur." 

"O-ohhh." Kali ini oh ku panjang, tapi tidak seperti Bang Idoy di dunia terbalik, ya! Haha.

***

Di satu sisi ...

"Assamu'alaikum, Dik." Langkah pria itu terhenti seraya menyunggingkan senyum.

Nurapilah merasakan hal aneh, kini jantungnya berdetup kencang tak beraturan. "Wa'alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh."

Alfian berusaha mendekat, tapi gadis di hadapannya itu malah mundur. Akhirnya ia berbicara dari kejauhan, karena bagaimana pun ia tak bisa memaksakan kehendaknya.

"Boleh, nanya sesuatu?" Pertanyaan Alfian hanya dibalas dengan sebuah anggukan. Lanjutnya, "Tahu gak, Dik? Cinta itu seperti ilmu sorof."

"Emang apa kaitannya?" tanya Nurapilah mengernyitkan dahi.

Alfian menjawab dengan antusias, " Sebab, ilmu sorof itu sangat sulit di pahami. Namun, ketika Dik Nurapilah memahaminya. Maka engkau akan bahagia selamanya, begitu pula dengan cinta," tuturnya, membuat gadis itu tersipu malu.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel