Santri Baru Dangan Kecerdasan Luar Biasa | Wudhu Berujung Rindu (Part 1)


Setelah melaksanakan sholat berjama'ah ashar, seluruh santriyin dan santriyat mendengarkan dengan seksama ceramah singkat dari Abah KH. Abdul Gofar Al-Hikam yang merupakan sesepuh sekaligus pendiri Ponpes Nurus Salaam. 

Beliau mendidik santrinya dengan sabar, ikhlas, tawadhu dan ulet. Beliau juga dikenal tidak pernah kasar dan marah kepada para santrinya, meskipun ada salah satu santrinya yang melakukan kesalahan. Abah Yai hanya menegurnya secara halus dan mendekatinya dengan kasih sayang. Begitulah cara beliau mendidik para santrinya agar menjadi pribadi  yang penyabar. 

Abah Yai menutup ceramahnya, "Wabillaahi taufik walhidayah, wa ridlo' wal inayah. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarakaatuh." 

"Wa'alaikumusaalaam warohmatullahi wabarokaatuh," jawab seluruh santri dengan serentak.

Para santrinya tidak ada yang berani untuk mendahui  Abah Yai keluar dari mesjid , kami hanya menunduk takdim pada beliau. Ya, seperti itulah sosok ahli ilmu. Menatap wajahnya saja malu, apalagi berbicara langsung pasti gemetaran. 

"Fidz?" Seseorang memanggilku dari belakang. 

Tanpa berfikir aku langsung menolehnya ke sumber suara yang ku dengar, "Ternyata antum, kirain ana siapa? Ada apa?"

Dugaanku benar, pemilik suara itu yang tak lain adalah Alfian Maulana Faturrahman. Ia salah satu sohibku yang selalu baik, rajin nabung (buat nikah katanya) , lumayan ganteng, walaupun kadang-kandang ngeselin juga. Selain itu, ia sangat menyukai peci bermotif dan yang paling parahnya lagi Alfian itu naksir banget sama adikku.

"Dik Nurapilah, makin cantik," ucap Alfian sembari cungar cengir. 

Aku sama sekali tak menjawabnya, "Tuhkan bener, pasti sedari tadi ia memperhatikan adikku. Bukannya aku gak setuju, tapi belum siap aja harus di dahului nikah," batinku.

Satu-satunya adik yang paling aku sayangi bernama Nurapilah Kirania Salsabila, usianya 2 tahun lebih muda dariku. Ia juga sama sepertiku tinggal di pesantren, karena ini merupakan amanah dari Almarhum Abii yang telah meninggal 9 tahun yang lalu. Sebenarnya aku sendiri gak tega, melihat Ummah harus tinggal seorang diri di rumah yang ku anggap sebagai istana kebahagian.

"Alfian, Hafidz. Mau sampai kapan diam di mesjid? Ayo, ke kamar! Ana mau rebahan," ujar pria berpeci putih.

Aku dan Alfian melirik ke samping ternyata itu suara Jihad Abdus Sulton sohibku yang satunya lagi. Ia selalu mengenakan peci putih, kalau ini beneran ganteng, hidungnya aja mancung kayak anak keturunan Turki. Namun, ternyata ia itu asli keturunan sunda.

"Dasar tukang tidur!" seru Alfian.

"Kumaha urang we, atuh.  Make kudu maneh nu riweuh!" celoteh Jihad memakai bahasa daerahnya.

Terjemah : 
"Terserah ana, dong. Kenapa antum yang ribet!" celoteh Jihad memakai bahasa daerahnya.

Aku dan Alfian hanya menepuk jidat, karena tidak tahu apa yang sebenarnya di ucapkan Jihad barusan. Senjata paling ampuh agar kami berdua menuruti keinginannya yaitu dengan menggunakan bahasa sunda. 

***

Setibanya di depan kamar, aku tidak ikut masuk ke dalam. Sore yang indah di iringi alunan udara sejuk membuatku betah duduk di teras depan. Tak sadar, mulutku mengeluarkan kata-kata aneh.

Terdiam menikmati senja, terpaku membisu menatap mega ... Gumpalan awan berarak diatas sana, mataku mencari-cadi adakah awan yang berbentuk wajahnya ...

"Astaghfirullah, apa yang keluar dari mulut ana? Yaa Allah maafkan hambamu," lirihku.

Setelah tersadar aku melantunkan salah satu sholawat favoritku yang berjudul Huwwanur karya Habib 'Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi (Pengarang Kitab Maulid Simthudduror). Walaupun pas-pasan, tapi kata orang lain suaraku itu semerdu  Syakir Daulay. "Whahha." Jika mengingat hal itu bawaannya pengen ketawa.

Terlihat di sebrang sana, seorang wanita sedang membawa sebuah nampan yang berisikan 4 cangkir teh. Namun, "Sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana? Ya, sudahlah buat apa juga mikirin orang lain. Lebih baik aku lanjut muroja'ah sambil menunggu adzan maghrib," gumamku seraya masuk ke dalam kamar.

•••
Ketika aku mencari kitab tiba-tiba saja ada yang memegangi pundakku, "Lumayan merinding juga, tapi masa di sini ada hantunya. Kalau juga ada ngapain harus ke aku? Sono, noh sama si Alfian. Dia kan doyan banget ama yang beginian, kalau beluk cukup silahkan ambil si Jihad 'kan itung-itung bonus." Aku tergelak cukup lama dan melihat siapa yang iseng.

Slupp! ... 

Jihad menyedot kembali air liur yang tengah jatuh ke lantai. Ternyata ini lebih seram dari pada hantu, lebih tepatnya jijik.

"Fidz. Muroja'ah belum?" tanya Alfian yang sedang bersandar di lemari kayu jati.

"Belum, nih. Ana lagi nyari kitabnya belum ketemu," jawabku sembari menggaruk bagian kepala samping belakang.

Alfian mengangkat satu alisnya sembari menunjuk ke arah orang tertidur. Awalnya aku bingung dengan isyarat tersebut, tapi setelah ku perhatikan dengan telilti. Ternyata oh ternyata, kitabku tertindih oleh bantal milik Jihad.

Ssssss! ...  

"Yaa Allah, berat banget. Segini tuh baru kepalanya." Lanjutku, " Alfian, bantuin ana!" pintaku.

"Oke," balasnya. Aku mengangkat kepala Jihad, sedangkan Alfian mengambil kitabku. 

"Alhamdulillah," ucapku dan Alfian berbarengan. Lalu, menutup mulut masing-masing karena lupa ngecilin volume. 

"Ih, garandeng maraneh mah. Teu nyaho sugan, urang keur tunuh oge!" Lagi-lagi pria berpeci putih itu menggunakan bahasa daerahnya.

Terjemah :
"Ih, berisik antum. Gak tahu apa, ana lagi ngantuk!" Lagi-lagi pria berpeci putih itu menggunakan bahasa daerahnya.

"Apa sih yang dibilang Jihad barusan?" tanya pria berpeci motif.

'Kebetulan ia bertanya padaku, lebih baik aku kerjain biar tahu rasa,' benakku.

"Dia bilang, kita berdua ganteng," ujarku asal.

Mendengar jawaban dariku, Alfian langsung menyunggingkan senyum dan melompat-lompat bak anak kecil yang menang piala. Padahal, aku sendiri pun gak tahu apa yang sebenarnya dikatakan Jihad.

Sungguh aneh bahasa yang digunakan oleh orang Sunda, memang aku dan Alfian sudah 10 tahun bersama. Namun, jika dengan Jihad baru kenal sekitar 5 tahunan. Dia merupakan santri baru, tapi kecerdasannya luar biasa. Dia bisa secerdas itu karena sering makan hui tangkal, kalau dalam bahasa Indonesia itu Singkong.  Kurang lebihnya seperti itulah yang aku tahu dari Jihad. 

***

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...

Adzan maghrib pun berkumandang, aku segera bangkit dari tempat dudukku. Tak lupa membangunkan Jihad, biar bagaimana pun dia selalu ada di saat aku butuh. Kedua tingkah sohibkulah yang membuatku betah di pesantren, karena kita bertiga sudah seperti saudara kandung. 

Aku dan kedua sohibku berjalan beriringan dengan santriyin lain. Apalagi santri junior atau yang baru masuk dan masih bocil. Mereka berlarian dengan memutar-mutar sarung sembari tertawa keras. 

Jihad yang melihat itu langsung bicara dengan logat Sunda, "Eta budak. Nanaona cegera? Cek urang mah nyeuri, tapi baheula  urang oge osok kikituan jeung babaturan di lembur." 

Terjemah :
Jihad yang melihat itu langsung bicara dengan logat sunda, "Itu anak. Apa-apaan coba? Kata ana sih pasti sakit, tapi dulu ana juga suka melakukan itu sama teman-teman di kampung."

"Aduh, Jihad. Bisa gak bicaranya jangan pake bahasa elien, ana geli dengernya!" elak Alfian.

"Whahhahah," Jihad tergelak, sedangkan aku dan Alfian mengernyitkan dahi.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel