Belakang Pondok Santriyat | Wudhu Berujung Rindu (Part 2)


Setelah tiba di depan mesjid, aku dan kedua sohibku hendak masuk ke dalam. Namun, mendengar sebuah suara yang mengeluarkan bau tak sedap.

Duuuuuut! ... 

"Ih bau naon, sih. Alfian maneh hitut, nya?!" Jihad refleks berbicara menggunakan bahasa sunda.

Terjemah :
"Ih bau apaan, nih. Alfian antum kentut, ya?!" Jihad refleks berbicara menggunakan bahasa sunda.

Aku dan Jihad menutup hidung, karena baunya itu sangat menyengat. Sementara itu, Alfian memasang wajah tanpa dosa.
"Buruan antum wudhu lagi! Sebentar lagi mau iqomah, jangan sampai telat sholat berjama'ah!" seruku dengan nada sedikit meninggi. Bukanya aku so, tapi kalau tidak dengan cara seperti itu Alfian gak akan nurut.

Alfian berjalan ke tempat wudhu, sedangkan Aku dan Jihad masuk ke dalam mesjid. Kemudian, kami melaksankan sholat tahiyatul mesjid sebelum duduk. Tak lupa sholat sunah qobliyah maghrib pun kami lakukan, karena itu sudah menjadi rutinitas di ponpes Nurus Salaam.

Ntah, kenapa? Setiap berada di dalam mesjid aku selalu menatap ke atas. Langit-langit masjid ini sangat indah dan memukau dengan warna dominasi kuning dan sedikit biru.

"Maa syaa Allah ...,"

Sangat indah dipandang mata dengan gema sholawat bani Hasyim yang para santri lantunkan, "Allahumma Sholli 'Alaan Nabiiyil Hasyimiiyi, Muhammadiw Wa 'Alaa Aalihi Wa Sallim Taslimaa." dilanjutkan dengan sholawat badar.

***

Di sisi lain, Alfian tengah selesai berwudhu. Ia merapihkan rambutnya sambil berkaca di jendela mesjid. Sebab, ia tak mau sholatnya tidak sah gara-gara sehelai rambut. Tiba-tiba dipantulan kaca, terlihat seorang santriyat mengenakan mukena putih.

Netra Alfian membulat, sepertinya ia sangat mengenali gadis itu. Lalu, ia membalikkan badan seraya menyapanya,

"Assalamu'alaikum, Dik." Laki-laki berpeci motif itu mengedipkan sebelah matanya.
"Wa'alaikumussalaam, maaf Kang. Sebentar lagi iqomah, saya duluan, " balas Nurapilah sembari menunduk malu. Alfian hanya bisa menggulumkan bibir dan masuk ke dalam mesjid, karena suara iqomah telah berkumandang.

Allahu Akbar, Allahu Akbar
Asy-hadu 'Allaa Ilaaha Illallaah
Asy-hadu Anna Muhammadur Rasulullaah
Hayya 'Alash Shalaah
Hayya 'Alal Falaah
Qad Qaamatish-shalaah (2X)
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Laa ilaaha illallaah

"Laa ilaaha illallaah," jawab serentak seluruh jema'ah seraya berdiri dan melaksanakan sholat maghrib berjama'ah yang di imami langsung oleh Abah Yai.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh," ucap Abah Yai menengok ke arah kanan. Di ikuti jema'ahnya, "Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh." 

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh," ucap Abah Yai menengok ke arah kiri. Di ikuti jema'ahnya, "Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh."

Selesai melaksanakan sholat fardhu maghrib, semua jama'ah pun berdiri kembali untuk melaksanakan sholat sunnah ba'diyah maghrib sebanyak 2 roka'at.

Aku dan Jihad berpindah shaf ke belakang, karena melihat Alfian celingak - celinguk sendiri bak anak ayam kehilangan induknya. Eh, tapi anak ayam itu gemes, kalau Alfian lebih cocok jadi anak biawak. Aku menggembungkan pipi, lalu menghembuskannya.

Jihad yang melihat tingkahku langsung bertanya, "Kunaon?"

Terjemah :
Jihad yang melihat tingkahku langsung bertanya, "Kenapa?"

"Teu kunanaon, hayu!" ajakku. Menggunakan bahasa si Bule Sunda.

Terjemah :
"Gak kenapa-napa, ayo!" ajakku. Menggunakan bahasa si Bule Sunda.
"Kok, antum bisa bicara pake bahasa sunda?" Jihad menaikan satu alisnya. Mungkin dia bingung kenapa aku bisa, padahal hanya bisa beberapa.

Sekarang posisi pria berpeci motif itu di tengah - tengah Aku dan Jihad. Ia sama sekali tak bicara, hanya menekuk wajahnya. Kami berdua selaku sohibnya hanya menggelengkan kepala. Terdengar Abah Yai memulai do'anya dengan istighfar, tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Seluruh jema'ah menadahkan tangannya dan mengaamiinkan do'a sang ahli ilmu dengan khusu.

***

Tepatnya pukul 18:47 WIB seluruh santri kembali ke kamarnya masing - masing, baik itu santri putra ataupun santri putri. Ini adalah waktunya para Santri memasak makanan untuk makan malam. Di pondok Nurus Salaam ini terbiasa makan itu sehari 3 kali, kecuali hari senin kamis ataupun hari - hari berpuasa hanya makan 2 kali.

Memasaknya pun tidak semuanya turun hanya yang kebagian piket saja, jadi sistemnya giliran dan untuk yang tidak bertugas mereka semua menyetorkan hafalan qur'annya ke Abah Yai (bagi santriyin) dan Bu Nyai Salma (bagi santriyat).

Jadi, Abah Yai itu memiliki seorang istri yang setia, ramah dan juga dermawan. Namanya Bu Nyai Salma Qurotal'ayun, kami biasa memanggilnya Bu Nyai ataupun Bu Nyai Salma. Beliau dikaruniai 2 orang putri cantik dan sholehah, seperti peribahasa ...,"Buah Jatuh Tak Akan Jauh Dari Pohonnya ...,"
Putri pertamanya bernama Nurjannah Ayatuz Zahra yang kerap dipanggil Ning Jannah, ia berusia 19 tahun. Sedangkan putri yang kedua bernama Imatul Ulya El - Husna biasa disebut Ning Ima, usianya baru menginjak 10 tahun.

Kebetulan jadwal piket malam senin itu aku, kedua sohibku dan 2 santriyin lainnya. Kami berlima memulainya dengan pembagian tugas, Aku sendiri ditunjuk sebagai penanggung jawab. Apalah daya, diri ini hanya bisa pasrah.

Bismillah ...

"Alfian dan Jihad, ana minta tolong untuk ambil kayu bakar di belakang pondok santriyat!" pintaku, kulihat kedua sohibku mengangguk tanda setuju. Lanjutku, "Untuk kalian berdua, Rifal dan Fauzi bisa 'kan pergi ke warung buat beli semua ini," ucapku menyodorkan uang dan kertas bertuliskan belanjaan.

"Siap, Kang."

Alhamdulillah ... 

Lega rasanya, sekarang giliranku mencuci beras ke pemandian santri. Aku berjalan, sambil membaca sholawat nabi. Sebab, Abah Yai pernah bilang, jikalau melakukan sesuatu dengan ikhlas terus dibarengi sholawat In syaa Allah akan mendapat keberkahan. Kurang lebihnya seperti itulah yang aku cerna dari perkataan beliau.

Sorot mataku terhenti, lah kenapa airnya mati. Nah, kebetulan itu ada Kang Rifki. Dia itu anak pondok paling senior, belum menikah bukan karena tidak laku. Namun, dia memiliki trauma tersendiri terhadap wanita. Konon katanya dia pernah terkena pelet cinta sampai tergila-gila, tapi alhamdulillah berkat Abah Yai dia bisa sembuh seperti sedia kala.

"Assalamu'alaikum, Kang. Mau tanya, kenapa airnya mati?"

"Wa'alaikumussalaam, oh iya. Saya lupa, air yang di sini lagi ada perbaikan. Pipanya bocor, jadi untuk sementara Hafidz bisa gunakan air yang di mesjid," tuturnya. Aku membalasnya dengan sebuah anggukan seraya puter balik ke tempat wudhu, lebih tepatnya ke samping mesjid.

***

Ketika tanganku menyentuh air, tiba-tiba aku mendengar suara.

Bruk! ... 

Aduh! ... 

Tersentak aku kaget, mencari ke sumber suara. Mataku terhenti, pada gadis yang selalu membuat diri ini bertanya-tanya.
"Yaa Allah, bagaimana ini?" lirihnya memungut beberapa wadah yang jatuh. Tanpa berfikir panjang, aku membantunya. Eits ... Jangan berpikiran yang aneh - aneh, ya! Seorang Hafidz Ikmalus Syihab ini tetap jaga jarak, kok.

"Syukron, Kang. Maaf ngerepotin," ujarnya tertegun malu. Santriyat yang satu ini langsung pergi begitu saja, keliatan dari wajahnya itu memerah. Bisa jadi dia gugup, gak biasa ketemu pria bersuara seperti Syakir Daulay, whaha ... 

"Astaghfirullah, maafkan hambamu ini yaa rabb ...," batinku. 

Baru ku sadari ternyata, ada barang yang jatuh. Pasti ini miliknya, lebih tepatnya lagi sebuah sapu tangan berwarna merah muda yang bertuliskan 3 nama santriyat. Diantaranya Nurjaminah Salamatun Nisa,Nurjannah Ayatuz Zahra dan Nurapilah Kirania Salsabila. 

'Lah, bukannya yang kedua itu Ning Jannah putri sulung Abah Yai 'kan? Dan ini nama adikku sendiri, berarti nama dia itu Mbak Minah. He, Mbak? Lebih bagus di panggil Neng Minah,' benakku. 

Astaghfirullah ... 

Aku bermaksud mengambilnya dan akan ku titipkan pada adikku untuk dikembalikan pada Mbak Minah. 

*** 

Di belakang pondok santriyat, terdapat Alfian dan Jihad yang tengah mengambil kayu bakar. Tak di sangka, gadis bermata blo juga melakukan hal yang sama. 

"Antum tunggu, ya!" pinta Alfian sembari berjalan menghampiri seorang santriyat.
"Wah, geus teu bener yeuh budak! Ke heula, itu teh pan adina Hafidz. Ku urang dilaporkeun tah kalakuan maneh Alfian, huh!" umpat kesal prian berhidung mancung membangtingkan sebuah kayu kecil. 

Terjemah :

"Wah, udah gak bener nih anak! Bentar, kayaknya itu adiknya Hafidz. Ana laporkan saja kelakuan antum Alfian, huh!" umpat kesal prian berhidung mancung membantingkan sebuah kayu kecil.
Alfian memulai peebincangan, "Dik, boleh Akang bantuin?" 

"Audzubillahiminasy syaithonir rojiim, gak perlu Kang." Nurapilah kaget dengan keberadaan Alfian yang datang tiba-tiba.

Alfian cemberut, "Akang bukan Syetan, Dik!"
Whhaha ... 

Jihad melihat itu tertawa keras. Namun, tawanya berhenti saat terdengar langkah seseorang. 

Ekhmm ... 

"Sudah?" tanya seseorang pada Nurapilah.
Nurapilah menjawab di sertai senyuman yang teramat manis, "Alhamdulillah sudah, Ning." 

Alfian langsung loncat menjauh dari gadis yang ia incer, "Mampus deh, ana. Pasti Ning Jannah akan aduin semua ini ke Abah Yai atau ke Bu Nyai Salma," gumamnya.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel