Rencana Pernikahan | Suamiku Brondong (Part 2)


Suasana ruangan seketika hening. Embusan napas Dika terasa berat. Mendengar ucapan dari ayah Sonia, dadanya bergemuruh sangat hebat.

Dika tidak membayangkan, jika akan menikah dengan dosen cantik yang sangat ia kagumi. Harusnya dika merasa senang, tapidia sama sekali tidak merasakan hal yang membahagiakan untuknya.

"Ayah, lebih baik Ayah shalat dulu, tenangkan hati dan pikiran Ayah," ujar bunda Sonia yang terlihat lebih sabar.

"Astagfirullah." Ayah Sonia mengusap wajahnya. "Ayo, Bun. Kita salat, biarkan mereka berdua berpikir."

Selepas ayah dan bunda Sonia pergi, kembali Dika melakukan pembelaan diri.

"Bu, kok Ibu diam aja, sih. Ngomong, Bu, kalau saya tidak bersalah. Bukan saya ayah dari anak Ibu," ujar Dika seperti sangat frustasi.

"Saya, kan sudah bilang. Kalau kamu mau pergi, silahkan pergi. Kenapa kamu masih di sini?" Sonia berkata kesal, melihat Dika yang sedari tadi hanya bisa mengomel padanya.

Sonia, wanita yang sangat di kagumi Dika masih terlihat sangat tegar. Ia sudah disakiti, tapi masih bisa tenang.
Sedangkan Dika, otaknya hampir meledak dengan permasalahan ini.

"Bu, jujur saja sangat kagum dengan Ibu. Bahkan, menikah dengan Ibu adalah impian saya. Serius, tapi bukan seperti ini caranya, Bu."

Dika mengacak-ngacak rambutnya, lalu mengembuskan napas kasar. Sedangkan Sonia, masih sama seperti tadi. Mencoba tegar, akan tetapi hatinya rapuh.

"Saya sudah bilang, kamu bisa pergi! Saya nggak butuh bantuan kamu," kata Sonia. Sonia mengatur degub jantungnya, setelah mendengar pernyatan cinta dari Dika.

Sonia tidak menyangka, jika memang benar kalau selama ini memang Dika menyukainya. Namun, Sonia tidak pernah menggubrisnya. Karena perbedaan umur mereka yang terpaut lima tahun. Lagi pula, ada Rama, kekasih yang selama ini ia tunggu.

Sonia mencoba menutupi wajah terkejutnya. Sebisa mungkin dia menenangkan pikirannya.

"Bu, saya mau ngasih makan Ibu apa?" tanya Dika kembali.

"Nasi, masa batu," ucap Sonia ngasal.

"Astaga Ibu, ini masalah genting. Kenapa masih bisa bercanda, Ibu ngerti nggak sih kalau diposisi saya?!" Dika terlihat sedikit geram menghadapi dosen yang akan menjadi istrinya.

Tanpa sadar Sonia tertawa kecil. Dika menatap tidak percaya, selama mengikuti kelasnya, dia adalah dosen paling pelit dengan senyum.

Namun, kali ini senyumnya sangat indah dilihat mata Dika.

'Arggghhhh ....' Dia menggeleng cepat.

"Saya mana tahu jadi kamu. Saya sudah pusing jadi diri saya. Jangan pikir, hanya kamu yang dirugikan."

"Loh, jelas saya dong yang dirugikan. Belah duren siapa, yang buang sampah siapa." Dika mencibir kesal.

Sonia menatap tajam Dika, saat ucapannya yang membuat Sonia bergedik kesal.

"Kalau nggak ikhlas, pergi sana! Jangan bawa-bawa duren." Sonia kembali berdecak kesal.

Hening.

"Ikhlas, nggak Ikhlas."

Lagi, Dika hanya bisa merutuk dalam hati. Dia adalah tipe pria yang gampang merasa kasihan pada seseorang. Padahal di sini yang dirugikan adalah dia.

"Sudah jam lima sore, saya harus kerja, Bu. Saya pamit dulu," ucapnya dengan wajah memelas.

"Hmm ...."

"Hmm, doang. Bilang kek terima-kasih Dika ganteng. Malah diam aja."

"Ya, udah sana pulang. Cari uang yang banyak, buat biaya nikah." Sonia tanpa sadar merasakan perbedaan saat bersama dengan Dika. Dia bisa tertawa bebas, bahkan senang saat melihat pria muda itu gelisah.

"Dih!"

"Dih, apa? Bukannya, kamu Selalu bilang kalau kamu selalu tertidur di kelas saya karena bekerja. Mengumpulkan pundi-pundi uang untuk menikahi saya?" Kembali Sonia tertawa lepas.

"Dih, bener-bener nih, dosen. Seneng di atas penderitaan orang," sungut Dika.

Sedangkan dari ambang pintu, kedua orang tua Sonia hanya tertawa melihat mereka berdua.

"Benar, 'kan, Bu kata Ayah, kalau Dika cocok buat Anak kita. Sekarang dia sudah bisa membuat Sonia tertawa," ucap ayah Sonia sembari menyunggingkan senyum.

"Ayah, kasihan Dika dong. Bukan dia yang melakukan, tapi harus dia yang bertanggung jawab."

Ayah Sonia hanya diam, memikirkan ucapan istrinya. Ada benarnya ucapan istrinya, tapi dia lebih memilih menikahkan Sonia dengan Dika, dari pada dengan Rama.

***

Jam delapan pagi, Dika sudah berada di kampus. Tidak seperti biasanya, kali ini dia datang lebih awal.

"Dika, ayo masuk kelas, kamu nggak lihat sudah jam delapan pagi. Kamu mau diusir lagi sama bu Sonia?" tanya Riska teman satu kelas Dika.

"Males, Cha," ucap Dika sembari menelungkupkan wajah di meja.

"Tumben, biasanya semangat kalau tuh dosen cantik ngajar," celetuk Bayu yang duduk di sebelah Dika.

Wajah gadis yang sedari tadi memperhatikan Dika menjadi masam. Riska, sudah lama dia memendam rasa padaku Dika. Bahkan, berharap suatu saat bisa menjadi pacarnya.

"Alah, lagi males. Ngantuk."

Bayu yang memperhatikan Riska sadar jika ucapannya, membuat gadis itu kesal padanya.

"Dika, bener kalau Dika suka beneran sama bu Sonia?" Kembali gadis berbaju merah itu memastikan.

"Yaelah, dengerin amat si Bayu. Amat aja nggak dengerin Bayu," jawab Dika ngasal.

Bayu tertawa mendengar celotehan sahabatnya itu. Sedangkan Riska kembali tertawa renyah.

Akhirnya Dika berjalan gontai mengikuti suaminya temannya memasuki ruang kelas.

Tidak seperti biasanya Dika selalu antusias saat memasuki kelas Sonia. Namun, kali ini tidak membuatnya semangat.

Bu Sonia datang, mahasiswa sudah sibuk dengan catatan dan tugas mereka.

"Tugas lo, mana?" tanya Bayu.

Dika megangkat kepalanya, dia menepuk jidat. Tugasnya lupa dikerjakan.

Belum juga menyalin dosen cantik itu sudah datang menghampiri.

"Tugas kamu mana, Dika?!" seru Sonia.

Dika menggaruk-garuk kepalanya. Dia tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi.

"Saya sibuk kemarin, jadi---"

Belum juga melanjutkan sudah dipotong oleh dosen cantiknya. "Jadi, hmm ... jadi apa Mahardika?"

"Jadi lupa, Bu," jawab Dika.

Sonia kembali menarik napas. Dia tahu, kemarin malam Dika bersamanya. Mungkin itu yang menjadi alasannya.

"Oke, saya tunggu jam tiga sore. Tugas kamu sudah harus ada di meja saya."

Semua mata tertuju pada Dika. Mungkin dewi fortuna sedang berpihak padanya. Kali ini Dika selamat dari amukan dosen cantik yang terkenal galak dan pelit senyum itu.
 

Penulis : Chew Vha

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel