Dosen Galak | Suamiku Brondong (Part 3)


Dika berjalan gontai memasuki ruangan Sonia. Kali ini dia seperti tidak bertulang. Tidak ada semangat saat bertemu dengan dosen cantik itu. Saat sampai di depan ruangannya, ternyata pintu tidak dikunci.

Dika mengetuk pintu dan terdengar dari dalma suara menyuruhnya masuk.

"Bu, saya mau ngasih tuga saya," ucapnya sambil menyodorkan berkas tugasnya.

Dika memperhatikan sebentar wajah Sonia, wajahnya sembab seperti habis menagis.

"Ibu, habis nangis?" tanyanya.

Sonia bergegas memakai kaca matanya. Menutupi agar tidak terlihat kembali sembab di matanya.

"Jangan banyak tanya kamu. Sudah sana keluar!" titahnya sedikit emosi.

Sonia, emosinya tidak terkendali jika bertemu dengan pria kurus jangkung yang sedikit tampan itu. Beberapa kali Dika selalu membuat ulah dan terkadang menyusahkan.

"Saya bertanya, perhatian sama Ibu. Eh, tapi yang diperhatiin gak mau. Bu, saya ini kan calon suami Ibu. Salah kalau saya perhatian?"

Hampir saja bola mata Sonia keluar mendengar ucapan super percaya diri dari Dika.

"Kamu bilang gak mau nikahin saya? Ngapain kamu ngaku-ngaku calon suami saya? Denger yah, saya itu gak hamil! Jadi, gak perlu tuh dinikahi sama kamu!"

Ucapan Sonia sontak membuat Dika melebarkan senyum sekaligus membuat Dika berpikir lagi. Sonia tidak hamil, kenapa bilang hamil?

"Serius gak hamil? Lah kalau gak hamil mah, saya sekarang juga mau nikahin Ibu. Kan gak hamil jadi saya gak dapet barang second."

Sonia geram, dia menggebrak meja dengan kecang. Dia menyesal mengakui semuanya di depan anak ingusan ini.

"Jadi, kamu pikir saya barang?" Kembali matanya nyalang memandang Dika.

Di dorongnya Dika keluar ruangan Sonia. Dika menahan tubuhnya agar tidak keluar. Terjadilah mereka saling mendorong dan menahan, hingga tidak sengaja Sonia jatuh dan menimpa tubuh Dika dan sialnya bibir Sonia menempel pada bibir Dika.

Netra mereka saling bertemu. Dengan cepat Sonia bangkit dan memalingkan wajah.

"Sekali lagi saya bilang, keluar!"

Dika masih mencoba menetralkan jantungnya. Dia bangkit dan menepuk-nepuk bajunya. Senyum tipis menghiasi bibir pria muda itu.

"Bu, tadi cuma nempel, itu bisa disebut ciuman nggak?" tanya Dika asal.

"KELUAR!"

Tanpa menunggu lama Dika langsung ke luar ruangan Sonia. Dia berjalan sambil memegangi bibirnya yang menempel dengan bibir Sonia tadi.

***

Di dalam ruangan kerjanya, Sonia terduduk lemas. Dia memijit dahinya yang tidak sakit. Teringat kejadian tadi, saat bibirnya menempel pada bibir Dika.

"First kiss? Sama anak itu?" Sonia bergedik kesal mengingat kejadian itu.

Sonia, perempuan berusia dua puluh delapan tahun. Dia bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi. Semasa pacaran dengan Rama, mereka menjalani pacaran LDR.

Karena Rama bekerja di luar kota. Pertemuan mereka sangat jarang sekali. Bahkan, bisa berbulan-bulan. Sonia tidak terlalu terbuka dengan banyak lelaki.

Perempuan berdarah campuran Jepang dan Indonesia itu berparas sangat cantik. Tidak jarang para mahasiswa pun gencar mendekatinya. Namun, sikap dinginnya tidak mampu membuat dirinya tergoda.

Bukan hanya mahasiswa saja yang menyukai paras cantik sonia. Beberapa dosen pria yang masih singel pun banyak yang berlomba-lomba mendekatinya.

Ponselnya bergetar, dia langsng membuka pesan masuk yang ternyata dari sahabatnya---Siska.

[Son, aku di kafe seberang kampus. Sini, katanya kamu mau curhat? ]

[Oke]

Setelah membaca pesan dari Siska, Sonia bergegas keluar dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama untuk mencapai kafe itu. Dengan berjalan lima menit juga sudah sampai.

Matanya menangkap seseorang yang dia cari. Gadis berhijab pink itu duduk di pojok ruangan.

"Duduk," ucap Siska. Dia asik melahap cake tiramisu dan segelas lemon tea.

Sonia menghempaskan bokongnya dan memesan makanan. Kafe bernuansa anak muda itu sangat nyaman untuk sekedar melepas penat.

"Kamu, serius putus sama Rama?" Siska mulai mengitrogasi Sonia.

"Ya gitu deh. Dia mau nikah sama orang lain. Sial banget kan," umpatnya kesal.

Siska kembali memasukan cake ke dalam mulut. Disusul dengan candaannya pada sahabatnya.

"Eh, terus gimana yang kamu bilang tentang brondong itu?" tanya Siska sambil tertawa.

Sonia kembali teringat saat malam itu. Saat Rama memutuskan hubungan dengannya. Seketika hidupnya hancur berkeping-keping. Beberapa kali menolak pria, hanya demi sebuah kesetiaan yang tidak ada gunanya.

Kembali Siska tertawa terbahak-bahak. Tidak menyangka, jika sahabatnya itu melakukan kebodohan yang sangat konyol.

"Terus, nikahnya sama brondong itu?"

"Gitu, deh," ucap Sonia pasrah.

"Lagian, konyol. Pake pura-pura hamil," kata Siska lalu kembali tertawa.

"Aku kira yang membawa aku ke rumah sakit Rama. Kan aku lagi sama Rama saat aku pingsan. Eh taunya salah target." Sonia menyandarkan tubuh di kursi.

Kali ini Sonia merutuk kesialannya. Ide konyol yang dia buat, bukannya menguntungkan malah membuat dia harus berhubungan dengan brondong seperti Dika.

"Berondongnya kaya apa?" tanya Siska.

"Yang sering aku ceritaiin sama kamu." Sonia kembali megembuskan napas.

"Yang kepedean mau nikahin kamu?" Lagi, Siska bertanya dan kali ini dia tertawa hampir menangis.

Sonia mencibir, tidak menyangkan jika Sahabatnya akan tertawa senang di atas penderitaannya.

"Ya Tuhan, ucapan adalah doa. Nah, kali ini aku percaya kalau ucapan adalah doa," kata Siska sembari meminum lemon tea miliknya.

"Udah, seneng banget sih."

Siska kembali terkekeh, melihat Sonia yang terus saja mengerucutkan bibir.
Sahabatnya kali ini memang tertiban sial. Dia selalu bilang tidak akan pernah menikah dengan Dika. Jodoh memang tidak kemana.

***

Dika menatap nanar sebuah rumah besar nan megah. Di dalamnya tersimpan begitu banyak kenangan indah.

Ragu untuk melangkah, tapi kini niatnya bulat untuk masuk ke dalam rumah itu. Ada sesak terselip di dada. Kian membuncah saat melihat sosok wanita anggun yang sangat cantik.

"Ma," panggilnya pelan.

Wanita itu menoleh, menatap raut wajah tirus anak lelakinya. Dia menghentikan aktivitas menyiram tanamannya.

"Dika," lirihnya.

Wanita itu langsung memeluk Dika dengan sangat erat. Lalu dia melepaskan pelukan dan mebingkai wajah putranya.

"Kamu, kurusan. Nggak pernah makan apa?" tanya wanita itu yang ternyata adalah ibunya Dika.

Dika menggengam tangan halus itu. Kembali dia memeluk mamanya dengan hangat.

"Makan dong, masa nggak makan." Senyumnya menghiasi wajah mamanya.

"Ayo kita masuk, kamu pasti kangen juga sama papa kan? "tanyanya dan menggandeng legan putra kesayangannya.

Dika, dia memilih meninggalkan rumah besar itu cukup lama. Dika ingin hidup mandiri tanpa sepeser pun uang dari kedua orang tuanya.
Langkahnya terhenti saat berpapasan dengan pria yang lebih tua di atasnya.

"Pulang juga dia." Kalimat sindiran yang biasa Dika terima. "Kehabisan uang dia, Ma, sampai dia pulang ke rumah.

"Rama, cukup!"


Penulis : Chew Vha

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel