Pria Berpeci | Wudhu Berujung Rindu (Part 5)


Sosok yang ditunggu - tunggu akhirnya hadir juga. Alhamdulillah aku sangat senang, sebab apa? Perasaanku tak menentu jika harus mendengar suaranya. Seluruh jama'ah memberi Abah Yai jalan sembari menunduk takdim, kulihat pria berkopiah hitam itu menggulumkan senyum pada beliau.

"Ah, sungguh manis ciptaanmu, yaa Rabb ...," ucapku tak menyadari.

Ning Jannah yang berada di samping menyimak perkataanku barusan, "Siapa yang manis, Minah?"

'Haduh! Bagaimana ini? Aku harus jawab apa? Mikir Minah, mikir! Jangan sampai Ning Jannah curiga!' benakku.

Raut muka putri sulung Bu Nyai terlihat begitu penasaran, "Saya nanya tahu, kok gak di jawab?"

"Ii- itu, a-anu Dia." Aku terpaksa menunjuk ke arah pria yang kerap di panggil Bule Sunda, tak ada pilihan lain.

"Apa?!"

Kedua sahabatku tersontak mendengar ucapan yang keluar dari mulut ini. Aku pikir Nurapilah tidak ikut memperhatikan, tapi ternyata dugaan seorang Minah salah.

Tak lama kemudian ...

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Nasib baik berada di pihakku, untung saja Kang Alfian segera beriqomah. Jika tidak, kedua sahabatku ini pasti terus mengintrogasi. Lain kali, aku harus berhati- hati.

"Shafnya di rapikan!" ujar Abah Yai tanpa penekanan. Lanjutnya, "Ushalli Fardhal Isya'i Arba'a Raka'aatim Mustaqbilal Qiblati adaa-an Imaaman Lillahi ta'aala. Allahu Akbar." Di ikuti seluruh jema'ah.

Selang beberapa menit, sholat berjama'ah isya' pun selesai di laksakan. Semuanya berdiri kembali untuk melakukan sholat sunnah ba'diyah isya', kemudian di lanjutkan dengan berdo'a.

***

Para santriyin dan santriyat memasuki sebuah ruangan yang bernuansa islami, dindingnya di penuhi tulisan - tulisan kaligrafi asmaul husna berwarnakan hijau muda. Aku masuk bersamaan dengan sahabatku melalui pintu depan, sedangkan untuk santri putra menggunakan pintu samping. Sebab laki - laki dan perempuan tidak di perkenankan berpapasan langsung, kecuali ada kepentingan atau darurot. Maka dari itu, di dalam majlis ini terpasang hijab sebagai pembatas antara keduanya.

Semua santri tengah menunggu kedatangan Abah Yai, tapi ada juga yang asyik ngobrol. Terutama santriyat di sampingku ini sampai ketawa - ketiwi, bak Nyi Kunti. Terdengar suara langkah kaki dari luar menuju ke sini, hal itu membuat seisi ruangan menjadi hening tanpa suara.

"Assalamu'alaikum," ucap seorang gadis di ambang pintu seraya masuk menghampir kami berdua.

Serentak semuanya menjawab, "Wa'alaikumussalaam warohmatullahi wabarakaatuh."

Ruangan yang baru saja sepi sekarang mulai ramai kembali, karena para santri mengira itu suara langkah Abah Yai padahal bukan. Kebetulan aku dan kedua sahabatku duduk di barisan pertama dekat hijab. Tak sengaja aku mendengar seseorang yang sedang menyebut namaku, sepertinya aku mengenali suara ini.

"Iya Nurjaminah namanya," kata pemilik suara yang tak asing lagi bagiku.

Temannya yang satu ikut nimbrung, "Emangna kunaon kitu?"

Terjemah :
Temannya yang satu ikut nimbrung, "Emangnya kenapa gitu?"

'Aha, sekarang aku tahu. Santri yang selalu menggunakan bahasa aneh 'kan cuma satu orang, siapa lagi kalau bukan Bule Sunda yang tak lain adalah Kang Jihad,' benakku.

"Tahu gak, Fidz? Ketika tadi di mesjid, itu loh Nurjaminah nunjuk - nunjuk ke arah Jihad," ungkapnya.

"Hah?!"

Deg! ..

"Kunaon? Ke heula, siga aya nu ngadengekeun arurang ngawangkong. Soalna bieu aya nu ngomong 'hah', bener teu?" duganya sembari menerawang ke hijab.

Terjemah :
"Kenapa? Sebentar, kayaknya ada yang nguping kita ngobrol. Soalnya barusan ada yang bilang 'hah', betul gak?" duganya sembari menerawang ke hijab.

"Lah, ini mulut ngapain ke ceplosan. Apa mereka dengar? Semoga enggak, deh. Kira-kira apa yang di bicarakan Kang Jihad, ya?" batinku bertanya- tanya.

"Iya, betul. Ana sendiri dengar, kok. Udah jangan di bahas! Mungkin itu suara nyamuk yang niru kamu, Fidz." ketiga santri putra itu tergelak.

"Bisa jadi, tapi kenapa antum tahu bahwa Minah liatin Jihad?"

"Ana 'kan selalu liat ke belakang untuk memandang Dik Nurapilah, he."

"Wah, antum berani-beraninya. Mau ana gibeng?"

Deg! ...

Hatiku berasa remuk, sepertinya benar Kang Hafidz itu punya hubungan spesial dengan sahabatku. Kenapa aku begini? Seharusnya aku dukung dong, lagian aku juga bukan siapa - siapanya Kang Hafidz! Ah, gak guna! Lebih baik aku ...

"Mbak, ayo siapkan kitabnya! Itu Abah Yai datang." Aku segera membuka kitab dan menggenggam hitec.

Abah Yai mengucap salam, semua santri menjawab salamnya seraya menunduk takdim. Santriyin dan santriyat sudah siap dengan perlengkapan tempurnya. Eh, maksudku kitab dan hitecnya. Begitu juga Abah Yai mulai membuka kitab Ta'limul Muta'lim, tak lupa kami semua membaca do'a terlebih dahulu.

3 jam kemudian ...

Waktu mengaji telah selesai, jadi para santri di himbau agar kembali ke kamarnya masing-masing untuk segera beristirahat. Tidak boleh ada aktivitas lain, selain tidur dan sholat malam.

Aku masuk lebih dulu ke dalam kamar, meninggalkan Nurapilah yang masih berbincang dengan santri yang lainnya. Entah kenapa? Akhir-akhir ini tubuhku gampang lemas dan moodku sering jelek.

"Sudahlah, lebih baik aku tidur." Ku tutup kedua mata sembari berdo'a.

***

Di sisi lain ...

Hafidz dan Alfian sedang belajar bahasa Sunda pada Jihad. Pria berpeci putih itu pun mengajarkannya dengan senang hati, walau kadang Alfian agak lemot.

"Naon itu Apa," jelas Jihad. Hafidz mengangguk tanda mengerti, sedangkan Alfian memasang wajah geram.

"Heh!"

Pria berpeci motif itu hendak memukul kepala Jihad. Namun, aksinya dihentikan oleh Hafidz, "Kenapa antum?"

"Habisnya Jihad bikin tanduk ana muncul! Masa, iya orang kita mau di ajarin malah balik nanya. Naon itu apa? Orang belum tahu juga, huh!" desis Alfian menatap tajam sang sohibnya.

Jihad sama sekali tidak takut, ia malah tergelak sembari memukul-mukul bantal. Hafidz menggelengkan kepala seraya berbicara, "Jadi gini Alfian, Jihad itu bukan nanya. Melainkan memberitahu bahwa naon itu artinya apa. Fahimtum?" terangnya.

"O-ooh ... Gitu ya, Fidz? Ayo lanjut lagi!" pinta Alfian.

Jihad menghentikan tawanya, "Yaudah, sekarang giliran kalian coba bicara pake bahasa sunda. Kalau ada yang salah, nanti ana betulkan."

"Ana dulu." Hafidz mengacungkan tangan. Lanjutnya, "Abdi lapar, jadi hoyong dahar."

Terjemah :
"Ana dulu." Hafidz mengacungkan tangan. Lanjutnya, "Aku laper, jadi pengen makan."

"Good. Ana perjelas, ya. Di daerahku setiap kata itu penyebutannya bisa sampai jadi 3 kata atau lebih. Seperti makan, ada mamam (ka sahandapeun/budak leutik) neda (sabaya/saumuran) tuang (ka saluhureun/nu leuwih kolot). Lamun 'dahar' mah kirang sopan! Belajar deui, nya Fidz. Sok Alfian!"tutur Jihad. Hafidz hanya manggut-manggut.

Terjemah :
"Good. Ana perjelas, ya. Di daerahku setiap kata itu penyebutannya bisa sampai jadi 3 kata atau lebih. Seperti makan, ada mamam (lebih bawah/ anak kecil) neda (sebaya/seumuran) tuang (lebih atas /lebih tua). Kalau 'dahar' itu kurang sopan! Belajar lagi, ya Fidz. Silahkan Alfian!"tutur Jihad. Hafidz hanya manggut-manggut.

"Oke. Jihad kasep, ngan tara mandi! Whaha," cetus Alfian terbahak-bahak.

Terjemah :
"Oke. Jihad ganteng, tapi jaramg mandi! Whaha," cetus Alfian terbahak-bahak.

Jihad mengempalkan tangan seraya memberi kode pada Hafidz. Alfian terdiam dan menyadari bahwa kedua sohibnya akan melakukan sesuatu.

Satu! Dua! Tii-ga!

Hafidz dan Jihad mencubit perut sohibnya, karena itulah salah satu kelemahannya yaitu tidak bisa menahan geli. Setelah puas kedua sohibnya terlelap, kalau Alfian sendiri jangan di tanya saking gelinya ia tertidur pulas. Ya, seperti itulah tingkah mereka bertiga.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel