Menunduk Malu | Wudhu Berujung Rindu (Part 3)


Ning Jannah bersikap seolah - olah tak melihat perbuatan santri yang nekat barusan. Sebab, jikalau kabar ini terdengar oleh Abahnya. Abah Yai tidak akan segan - segan memanggil yang bersangkutan, baik itu Alfian maupun Nurapilah sahabatnya sendiri. 

"Kami duluan, Kang," pamit Ning Jannah, melangkah beriringan dengan Nurapilah. Sosok pemuda yang kerap dipanggil si Bule Sunda itu terperangah saat mendengar suara merdu dari putri sulung Bu Nyai.

"Subhaanallah ... Emak, du'akeun Jihad supados enggal - enggal kengeng jodoh kos kitu," gumam Jihad Abdus Sulton dalam hati.

Terjemah :
"Subhaanallah ... Emak (panggilan ke ibu), do'akan Jihad supaya cepat - cepat dapat jodoh seperti itu," gumam Jihad Abdus Sulton dalam hati.

Kini pria berpeci motif tengah berdiri mematung, terlihat dari raut wajahnya ada sesuatu yang sedang  dipikirkannya, 'Bagaimana coba, kalau seandainya Ning Jannah memberitahu semua ini pada Abah Yai atau Bu Nyai? Terus nanti ana dipanggil ke ndalem, begitupun Dik Nurapilah juga pasti kena hukuman. Lah, berarti ana gak enaknya double dong! Pertama, ana gak enak sama keluarga ndalem. Masa seorang Alfian yang lucu ini melanggar aturan, aduh ceroboh! Kedua, ana gak enak sama Hafidz. Masa iya, sih adiknya harus dihukum gara-gara ana. Ya sudahlah ...,' benaknya.

Daaarr! ... 

"Innaalillaahi ...,"

"Dasar tukang tidur!" seru Alfian, tak terima dengan perlakuan Jihad yang mengagetkannya.

Jihad menjulurkan lidahnya, "Puas, wlee! Titah saha atuh ngahuleung, hah?"

Terjemah :
Jihad menjulurkan lidahnya, "Mampus, wlee! Suruh siapa melamun, hah?"

Terjadi pertarungan adu mulut di antara keduanya. Tak lama kemudian, terciptalah sebuah keheningan tanpa ada sepatah kata pun. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk kembali ke dapur santriyin, masing-masing memikul kayu bakar di pundaknya.

***

Di sisi lain, gadis berwajah bulat itu sedang mencari sesuatu di kamarnya. Pandangannya menyelidik ke semua sudut kamar, tumpukkan kitab serta pakaian ia periksa satu persatu. Namun sayang, Nurjaminah belum juga menemukan barang yang sangat berarti baginya.

Sekedar info, ya! Nurjaminah itu sahabat terdekat Nurapilah, sekaligus orang kepercayaan Ning Jannah. 

Sekarang gadis berusia 19 tahun itu mulai putus asa dengan usahanya, "Saya harus berterus terang pada mereka berdua!" pekiknya dalam hati. Lanjutnya menadahkan kedua tanganya,  " Ampunilah hambamu ini, Yaa Allah. Hamba telah mengingkari janji, hamba tidak bisa menjaga dengan baik sapu tangan itu."

"Assalamu'alaikum, Mbak Minah," ucap seseorang di ambang pintu. 

Gadis berjibab segi empat moca itu langsung menoleh dan menyeka air matanya, "Wa'alaikumussalaam, e-eh iii-iya," jawabnya terbata.

"Loh, kok. Mbak, kenapa? Ada masalah, ya?" tanya Nurapilah dengan nada khawatir. Sebab, tidak biasanya sahabat yang di anggap seperti Kakak kandung itu menangis.

Nurjaminah tak menjawab sama sekali, ia berhambur ke pelukan gadis bermata blo. Nurapilah memakluminya, karena kebanyakan wanita selalu menangis saat memiliki masalah dan lebih anehnya lagi  hal inilah yang membuat moodnya tenang .

Setelah tangisan Nurjaminah reda, ia pun menceritakan semua pada sahabatnya. 

Nurapilah menyunggingkan senyum seraya berbicara, "Mbak, ini. Kirain kenapa? Eh, tak taunya cuma gara-gara sapu tangan, toh? Aku dan Ning Jannah gak akan marah, kok. Orang Mbak Minah gak sengaja 'kan?" tuturnya di balas sebuah anggukan kecil. Lanjutnya, " Yaudah, mending kita ke dapur yuk! Sebentar lagi waktunya makan, eh maksud aku para santri selesai setor hafalan."

"Iih, kamu ini. Makan mulu yang di pikirin, awas loh nanti gendut!" tukas Nurjaminah.

"Hhe, gak mau. Emangnya Mbak Minah, gendut pipinya doang, wlee," ledek Nurapilah. Keduanya tergelak cukup lama, lalu beranjak ke dapur untuk menghidangkan makanan.

***

Di depan pondok santriyin, lebih tepatnya di halaman depan sudah terhampar beberapa pelapah daun pisang berukuran besar yang berisikan makanan sederhana ala santri. 

Jumlah santri putra yang  sangat banyak di tambah lagi dengan bocil - bocil, menjadikan duduk berdempetan. 

Hal ini membuat Jihad kesal, "Woy?! Diukna turji (tuur hiji), meh mahi heh!" omelnya.

Terjemah :
Hal ini membuat Jihad kesal, "Woy?! Duduknya dartu ( standar satu ), supaya cukup heh!" omelnya.

"Huh, dasar bulsun!" tukas semua santriyin pada Jihad, ya begitulah keadaan di pondok putra kompaknya luar biasa. 

"Atos, atos. Hayu,  mamam!" seru Alfian dan Hafidz berbarengan memakai bahasa Sunda.

Terjemah :
"Udah, udah. Ayo, makan!" seru Alfian dan Hafidz berbarengan memakai bahasa Sunda.

 Semua mata tertuju pada keduanya, mungkin tidak biasanya Alfian dan Hafidz menggunakan bahasa daerahnya Jihad. Terutama pria berpeci putih malah ternganga, sedangkan kedua sohibnya mempunyai rencana untuk berbuat usil. 

"Fidz, ana punya rencana," bisik Alfian pada Hafidz. Pria berpeci hitam itu mengangguk dan menahan tawa jahatnya. 

Satu! ...

Dua! ...

Tii ... Ga! 

Hafidz memasukan kerupuk yang sudah ditaburi sambal ke mulut Jihad, di ikuti Alfian menyuapi sekepal nasi berisi garam. 

Uhuk! .. Uhuk! ...

"Belegug, siah! Asin ...," 

Terjemah :
"Kurang ajar, loh! Asin ...,"

Semua orang yang di sekitar mereka tergelak, terutama Alfian dan Hafidz tertawa terbahak - bahak. 

Ekhmm ... 

Deheman itu berhasil menghentikan tawa para santriyin seraya menunduk takdim. Sebab, mereka semua hafal betul siapa dibalik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Abah Yai, sang guru besar.

"Assalamu'alaikum," ucap Abah Yai tersenyum, beliau pura-pura tidak mengetahui kalau para santrinya melakukan lelucon di depan rezeki. 

Seluruh santri putra menunduk malu, tak berani melihat wajah beliau. Kemudian menjawab salam dan meminta maaf, " Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh, mohon maaf Abah Yai. Kami khilaf, kami janji gak akan ngulangin." Secara bersamaan tanpa adanya aba-aba.

"Alhamdulillah, minta maaflah kepada Allah Ta'alaa!" seru Abah Yai dengan penuh karisma. Lanjutnya, "Oh iya, Abah minta pada kalian bertiga. Nak Hafidz, Nak Alfian dan Nak Jihad. Setelah makannya selesai, kalian ke ndalem ya!"

"Baik, Abah Yai," balas ketiganya sembari mengangguk takdim.

***

Keluarga ndalem sedang berkumpul di ruang tengah, canda tawa pun tercipta. Apalagi tingkah Ning Ima yang membuat suasana begitu hangat. 

"Sudah, sudah Ima. Perut Abah sakit, nih." Gadis berusia 10 tahun itu hanya menampakan deretan giginya yang putih.

"Assalamu'alaikum." Sebuah salam terdengar dari luar.

"Mii, Bah. Itu ada yang ngucap salam. Biar Jannah yang lihat, aja." spontan Ning Jannah hendak beranjak. Abah Yai tak menjawab, ia menoleh ke arah istrinya.

"Jangan, biar Umii saja. Kamu ajak adikmu ke kamar!" sergah Bu Nyai Salma.

Ning Jannah mengangguk pertanda setuju sembari menggandeng lengan Ning Ima, seraya masuk ke dalam kamar.

Bu Nyai melihat ke depan seraya mempersilahan masuk Hafidz, Alfian dan Jihad. Perasaan ketiganya gelisah tidak karuan, apalagi kaki Alfian yang terus gemetar. Sebab, ia sangat takut kalau beneran Ning Jannah menceritakan kejadian tadi pada Abah Yai.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel