Kurban Emak Sendiri


Dahulu setiap idul adha di kampungku. Entah, kenapa? Jarang sekali orang berkurban. Padahal banyak sekali orang yang sangat berkecukupan (kaya). Mungkin memang mereka masih ada keperluan lain atau yah ... aku pun gak tahu sih. Naudzubillah ... kalo harus ngomongin orang! Itu pun ada yang berkurban paling hanya segelintir orang.

Biasanya penyembelihan di adakan dekat masjid dan rumah Mas Karno. Beliau orang terkaya di kampung ini. Jumlah kurban pun tak banyak, hanya tiga ekor sapi dan beberapa kambing/domba.

Sampai jika ada kebagian jatah, gubukku yang kecil paling hanya kebagian satu kantong kresek daging domba. Padahal aku tak suka sama daging domba. Makanya jika idul adha aku jarang makan daging kurban. Alasannya karena gak kebagian daging sapi. Haha.

"Emak, kapan yah ... kita makan kurban daging sapi?" cerocosku pada Emak. Nampak, emak sedang menusuk-nusuk daging domba buat dijadikan sate.

"Emang, kamu pengen daging sapi yah ...?" balas Emak terlihat masih fokus pada pekerjaannya.

"Gak sih, idul fitri pun sering makan walau dikasih tetangga. Bahkan di pasar pun ada walau harganya mahal dan kita gak kebeli. Cuman rasanya pengen gitu makan daging sapi hasil kurban," balasku lagi pada Emak. 

"Yasudah ... kamu berdo'a semoga suatu hari ada orang yang berkurban sapi di kampung kita dengan jumlah yang banyak," tukas Emak aku pun yang semula duduk pada kursi yang terbuat dari rotan ini langsung menghampirinya. 

"Emak, aku akan berdo'a semoga suatu saat akan ada orang yang berkurban daging sapi dan itu adalah aku sendiri," tegasku pada emak dengan penuh kegirangan. 

Kulihat Emak senyum sumringah.

"Aamiin ... semoga suatu hari kamu dapat berkurban yah, Nak. Emak akan do'akan kamu." Emak mencuci tangannya ke kamar mandi 

"Iyah, Emak. Aku pengen berbagi pada orang-orang yang jarang makan daging kayak aku,"teriakku lagi pada Emak

Emak kembali dari kamar mandi lalu mengelap tangannya pada sarung yang dipakai. Sehabis itu mengusap pucuk kepalaku.

"Sungguh mulia cita-cita mu, Nak! Padahal kamu masih kelas enam Sd"

"Emak do'akan semoga suatu hari kamu bisa berkurban yah, Emak janji akan bantu kamu," ucap lagi Emak sembari memelukku. Dari sanah aku bertekad agar belajar lebih giat agar suatu hari bisa sukses supaya bisa berkurban.

***

"Emak, helmku mana? Udah siang nih, entar aku bisa kesiangan kerja!" Aku berteriak-teriak sembari menekan klakson motor.

"Maaf, Nak, Emak tadi cari dulu. Emak gak tahu kamu simpen di mana sebelumnya ..." 

Kulihat Emak menghampiriku dengan nafas yang ngos-ngosan. Maklum, namanya udah sepuh kalau kayak kursi mungkin udah reyot.

"Yaudah, aku pergi dulu yah, Emak." Aku mulai memasang helm 

"Tunggu, Nak. Emak minta uang sepuluh ribunya," teriak Emak menahanku untuk pergi.

"Tapi ... mak. Aku udah telat. Nanti aja yah ...."

"Coba kamu cari dulu, Nak," lirih Emak lagi. Aku pun terpaksa mengeluarkan dompet dari tas yang sudah kugendong karena Emak tetap memaksa.

"Gak ada receh, Mak," terangku padanya.

"Terus gimana? Tolong kamu tukarkan dulu," pinta Emak lagi.

"Gak bisa, mak. Udah siang nih, aku udah telat!"

"Tolong, nak," rengek emak seperti anak kecil yang harus keukeuh. Hingga aku emosi.

"Emak itu gimana sih, aku mau kerja sudah kesiangan, nih!" bentakku pada Emak. Hingga kulihat Emak terdiam dan tampak gurat kesedihan terlihat dari wajahnya yang sudah keriput. 

"Tapi, nak ...."

"Sudah, Emak. Aku udah kesiangan!" setelah menyalakan motor aku pun pergi membelah jalanan. Tanpa mempedulikan Emak yang tampak menjatuhkan air mata.

Mungkin benar, jika orang tua sudah sepuh pasti akan kembali lagi ke masa kenakan-kanakan. Dari dulu aku selau banting tulang sendiri hingga bisa merenovasi  rumah bahkan keluarga kita menjadi berkecukupan. Iya, setelah Bapak tiada aku yang harus kerja. Hingga ... Emak sekarang sudah di bawa hidup senang. Tapi emak yang semakin tua malah merepotkanku.

Entah, kenapa? Tiap hari emak selalu saja meminta uang sepuluh ribu.

"Nak, tolong yah, sisihkan uang sepuluh ribu itu buat Emak."

"Yaampun, Mak! Ini itu udah pas buat beli sekrincare aku!"

"Nak, emak hanya minta sepuluh ribu saja," keukeuh Emak terus meminta uang sepuluh ribu bahkan harus pas gak boleh kurang atau pun lebih. Iya, hanya selembar sepuluh ribu.

Aku bingung untuk apa uang sepuluh ribu. Hingga emak terkadang memaksaku untuk memberinya. Bahkan setiap hari! Padahal semua kebutuhannya sudah tercukupi. Aku sangat bingung!

Memang yah ... jika orang tua sudah tua sangat manja dan merepotkan! Merengek layaknya anak kecil. Minta ini, itulah ... ampun!! Ingin rasanya kukurbankan Emak!

`Allahu'akbar ... Allahu'akbar ... laillaha'illallah hu wawlllahu'Akbar! Allahu'Akbar wa lillahil'ham!`

Gema takbir mulai terdengar disepanjang jalanan dan masjid. Hari ini sudah lewat isya. Seperti biasa aku pulang dari kerja. Tak henti-hentinya saat sedang mengendarai motor nama Tuhan itu terdengar dengan diringi suara khas bedug yang dipukul-pukul. Entah, kenapa? Aku merasa terenyuh. Aku ingat pada pagi tadi saat kulihat mata emak berkaca-kaca saat kubentak.

Aku menyesal! Sungguh perbuatanku sangat kelewatan! Seharusnya aku tak bersikap seperti itu pada Emak. Astagfirullah ... dengan cepat aku menancap gas agar segera bisa sampai ke rumah.

Namun, setelah sampai di rumah. Aku kaget. Banyak sekali warga kampung yang mengerumuni rumahku.

Ada apa sebetulnya? Jantungku seakan berhenti berdetak, tanganku mulai dingin.

Apa yang terjadi? Emak! Kuharap beliau tak kenapa-kenapa.

Dengan cepat aku mulai turun dari motor dan melangkahkan kaki ke teras.

"Maaf, ada apa ini?" Aku mulai membelah jalan pada krumunan warga

"Wah, hebat, kamu!"

"Iya, bagus! Padahal, masih muda juga;" terdengar omongan orang-orang yang memujiku.

Ada apa ini sebetulnya?

Setelah berada di tengah-tengah krumunan warga. Aku kaget saat melihat seekor sapi yang tampak gagah di sana.

Bahkan ada namaku sendiri, Mina Musdalifah.

Aku tak bergeming, seakan kakiku tertancap oleh paku pada tanah.

"Masya Allah ... ini Sapi siapa, Mak?" Aku bertanya pada emak yang baru saja menghampiri.

"Itu sapi punyamu, besok kamu sudah bisa berkurban," terang Emak sembari tersenyum penuh haru.

"Sapiku?" Lantas aku masih keheranan.

"Iyah, selama ini emak selalu minta uang dan menyisihkannya pada kelompok yang mengadakan 'Nabung Untuk kurban'. Sehari sepuluh ribu. Dan setelah beberapa lama akhirnya ... kita bisa kurban sapi. Dan maaf, selama ini emak harus keukeuh dan yang pagi tadi terakhir untuk jumlah uang agar kita mendapatkan sapi. Makanya emak keukeuh minta darimu," terang Emak lagi padaku.

MasyaAllah ... Allahu akbar! 

"Maafkan, aku mak. Pagi tadi aku sudah bentak-bentak emak." Aku mengecup punggung tangan emak dan bersimpuh di bawah telapak kakinya.

"Gak papa, Emak ngerti, kok. Sekarang ... kamu senang, 'kan sudah bisa berkurban dengan hewan sapi. Seperti yang kamu cita-citakan sejak dulu?" ujar Emak lagi sembari membangunkanku.

"Iyah, Emak. Aku sangat senang. Tapi itukan hasil dari tabungan emak sendiri. Kenapa harus pake namaku?"

"Tetep aja, itu hasil dari uangmu sendiri, dan maaf baru satu belum banyak kayak yang kamu impikan," tukas Emak lagi. 

"Gak papa, Emak aku sangat senang. Makasih mak. Maafkan Mina"

"Emak, sudah maafin."

Aku pun kembali memeluk Emak. Aku tak menyangka emak akan ingat pada impianku sebelas tahun yang lalu. Iyah, kurban ini tetep saja akan kuingat sebagai kurban Emakku sendiri.

Sekian.

Semoga yang belum bisa kurban, tahun depan bisa terlaksanakan. Aamiin


Penulis : Bintang

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel