Calon Imamku | Wudhu Berujung Rindu (Part 4)


Pria paruh baya menatap lekat ketiga santri dihadapannya yang tengah menunduk takdim. Beliau sengaja belum memulai perbincangannya, karena mereka terlihat sangat gugup. Sementara itu, Bu Nyai Salma membawa sebuah nampan yang berisikan beberapa makanan dan 3 gelas air hangat sebagai jamuan.

"Ayo silahkan cicipi, gak perlu sungkan!" kata Bu Nyai sembari duduk di samping suaminya.

Mereka bertiga tersenyum seraya meneguk air yang disuguhkan, "Ditampi airnya Bah, Bu."

"Tafadhol," balas sosok pria berjubah menampakkan ekspresi penuh ketenangan.

Bismillahirrahmaanirrahiim ... 

Abah Yai mulai berbicara, ia mengatakan bahwa besok beliau akan mengahadiri rapat besar pertemuan para pengurus pondok pesantren di mesjid Istiqlal Jakarta. Tanggung jawab semua santri untuk sementara diserahkan pada Hafidz dan apabila memerlukan bantuan bisa mengandalkan kedua sohibnya, akan tetapi tetap dalam pengawasan Bu Nyai Salma. Kebetulan besok itu hari senin, jadi tugas yang di emban tidak terlalu berat.

Info, ya! Setiap hari senin di ponpes Nurus Salaam selalu mengadakan kegiatan rutin seminggu sekali yaitu muhadorohan. Tujuannya sendiri untuk melatih mental para santri sekaligus mengukur seberapa sungguh - sungguhnya mereka dalam menuntut ilmu.

"Apakah nak Hafidz bersedia?" tanyanya pada pria berkopiah hitam.

Hafidz terkesima, ia tidak menduga bahwa dirinya diberi kepercayaan oleh keluarga ndalem. Ia harus bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik - baiknya, karena ia mengibaratkan kepercayaan itu layaknya sebuah gelas kaca, " In syaa Allah Abah, Hafidz bersedia."

"Alhamdulillah ... Kami memang tidak salah memberi tugas ini pada nak Hafidz ya, Bah. Syukron katsir," puji Bu Nyai melempar senyum pada suaminya.

"Bu Nyai dan Abah Yai tidak usah berterima kasih ke Hafidz. Seharusnya Hafidzlah yang berterima

kasih, karena telah diberi amanah yang sangat luar biasa. Syukron katsiron," ucapnya menunduk menyembunyikan pipinya yang mulai memerah, melihat itu Abah Yai menyunggikan senyum.

Setelah menyimak maksud dari guru besar memanggil mereka bertiga, Alfian pun bernapas lega. Itu berarti Ning Jannah benar-benar tidak mengetahui apa yang dilakukannya tadi. Namun, berbeda lagi dengan Jihad yang menyipitkan matanya ke arah pria berpenci motif. Alfian menyadari akan hal itu, kembali hatinya menjadi gundah.

"Mohon maaf Abah Yai, bolehkah Jihad -" Pria berpeci putih menggantung ucapannya. Semua orang yang berada di sana memasang wajah penasaran. Kecuali, Alfian yang terlihat seolah-olah ketakutan.

"Semoga aja Jihad gak bicara yang aneh - aneh," batin Alfian penuh harap.

Jihad menahan tawanya dan menyambung kembali perkataannya, "Bolehkah Jihad mewakilkan, bahwa sebenarnya Alfian-" Ia kembali menggantung ucapannya, sekilas menoleh sinis pria berpeci motif. Lanjutnya, "Bahwa sebenarnya Alfian ingin bertanya, 'kan biasanya setelah acara muhadoroh selalu ada sambutan dari Abah Yai. Apakah itu di wakilkan oleh Ning Jannah, eh maksudnya Bu Nyai?"

Lah, Jihad berani-beraninya sebut nama Ning Jannah di depan orang tuanya langsung. Emang betul cinta itu buta dan tuli, tak melihat tak mendengar. Namun datangnya dari hati, tidak bisa dipungkiri,, eh, maaf Author malah nyanyi :D

Hafidz dan Alfian menepuk jidat, mereka kira Jihad akan berbicara yang enggak-enggak. Begitu pula Abah Yai berserta istrinya menggelangkan kepala. Pria berhidung mancung itu bertanya kembali, "Diwakilkan oleh siapa Abah?"

"Mengenai itu kalian tidak perlu bingung. Nanti besok akan ada salah satu alumni yang bersilaturrahmi ke sini, jadi bisa kalian tunjuk beliau sebagai pengisi sambutan. Bilang saja, ini salam dari Abah," tutur Abah Yai. Ketiga santriyin itu mengangguk pelan pertanda paham.

***

Di sisi lain, lebih tepatnya di dalam pondok santriyat terdapat sepasang sahabat yang tengah duduk bercengkrama.

"Mbak. Kenapa, ya? Belakangan ini aku kepikiran Kang-" ujarnya terpotong.

"Kang Alfian 'kan? Ayo ngaku!" sambung Nurjaminah. Nurapilah tersipu malu, akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraanya.

Trong! ... Trong! ... Trong! ...

Terdengar suara kentongan di pukul 3 kali pertanda waktunya para santri memasuki majlis untuk menyimpan kitabnya masing-masing, lalu melakukan sholat berjama'ah isya' di mesjid. Semua santriyin dan santriyat berhamburan keluar, termasuk Nurapilah dan Nurjaminah. Suara riuh menyelimuti suasana malam di pondok pesantren Nurus Salaam.

"Mbak. Aku lupa ngembaliin kitab ini, gimana dong?" lirih gadis bermata blo sembari memegangi kitab Irsyadul Ibad.

"Emang itu punya si-" ucapnya terpotong, karena Nurapilah menarik tangan Nurjaminah seraya berlari menuju tempat wudhu.

Keduanya ngos-ngosan, sedangkan 2 pria yang tengah berdiri di hadapan mereka mengernyitkan dahi. Kemudian, Nurapilah mendekati pria berkoko hitam abu. Nurjaminah hanya menunduk, entah kenapa hatinya terasa bergemuruh.

"Mas Hafidz, he. Ini kitabnya, terima kasih," beo gadis bermata blo sembari menyalami tangan pria berkopiah hitam itu.

Dengan senyuman yang khas sosok pria berpostur tinggi itu menjawab, "Afwan. Lain kali jangan telat, ya!" Hafidz mengelus kepala sang adik, tangannya ia turunkan lagi saat menyadari ada gadis lain di samping Nurapilah yang tengah menunduk.

'Di depan santri yang lain, Kang Hafidz so alim. Mentang-mentang di sini hanya ada 4 orang, jadi berlaga seenaknya. Sebal!' benak Nurjaminah mengerucutkan bibirnya.

"Rayi, raka teh alus akur. Salut pokok namah," ungkap Jihad mengacungkan jempol.

Terjemah:
"Adik, Kakak yang bagus akrab. Salut pokoknya," ungkap Jihad mengacungkan jempol.

Hafidz menyimpulkan senyum, karena ia tahu apa yang dikatakan Jihad. Berbeda dengan sepasang santriyat hanya bengong mendengar ucapan pria berpeci putih.

"Ayo, ke mesjid!" tukas Nurjaminah menarik kasar tangan sahabatnya.

Nurapilah sedikit meringis karena kesakitan, tidak biasanya Nurjaminah bersikap seperti ini. Terlihat jelas Hafidz mengkhawatirkan adiknya, takut kenapa-napa.

"Fii amanillah, adikku."

Jihad bercerita pada sohibnya, kalau sedari tadi ia melihat gelagat gadis yang berasama Nurapilah sesekali memperhatikan Hafidz dan sepertinya gadis itu cemburu. Pria berusia 20 tahun itu malah tergelak mendengar karangan sohibnya barusan, akan tetapi Hafidz juga menyadari ada sesuatu yang berdesir di hatinya. Entah itu apa namanya yang pasti ia merasakan hal itu saat bertemu dengan Mbak Santri, tak lain adalah Nurjaminah Salamatun Nisa.

***

Allahu Akbar, Allahu Akbar ...

Allahu Akbar, Allahu Akbar ...

Terdengar suara nyaring Alfian mengumandangkan adzan, Jihad dan Hafidz segera mengambil air wudhu.

Setelah itu mereka berdua memasuki mesjid dengan berdo'a terlebih dahulu, keduanya melakukan sholat tahiyatul mesjid seperti biasanya. Setelah adzan selesai dikumandangkan seluruh santri serentak berdiri dan melaksanakan sholat sunnah qobliyah isya'.

Alfian menengok ke belakang mencari-cari keberadaan kedua sohibnya, tapi tak sengaja ia beradu pandangan jarak jauh dengan gadis incerannya yang tak lain adalah adik dari Hafidz. Pria berpeci motif itu menggubris bola matanya, ia melambaikan tangan pada kedua sohibnya. Akhirnya mereka menghampiri Alfian yang berada di shaf paling depan. Kali ini mesjid sudah terisi penuh. Namun, Abah Yai masih belum terlihat keberadaannya. Suara-suara dari para santri bersahutan mengobrol.

"Kang Hafidz, sholawatan aja!" usul salah satu santri.

"Iya, bener tuh. Suara Kang Hafidz 'kan merdu."

"Ayolah, kembaran Syakir Daulay," cetus Kang Rifki.

Bla ... bla ... bla ...

Masih banyak lagi para santri putra yang ikut nimbrung.

Hafidz pun mengambil microfon dan mulai melantunkan sholawat yang berjudul Qamarun.

~ Sholawat on

Allahumash Sholli Wa Sallim Wa Baarik 'alaih (sholu 'alaih)

Qamarun Qamarun Qamarun Sindan Nabi Qamarun

Wajamil Wajamil Wajamil Sidnan Nabi Wajamil

Wakafful Mustafa Kalwardi Nadi

Wa Itruhahyabqa iza Massat ayadi

Wakafful Mustafa Kalwardi Nadi (Allah Allah)

Wa Itruhahyabqa iza Massat ayadi (Allah Allah)

Waamma nawaluha Kullal Ibadi (4x)

Habibullahiya khoirol Baro yaa

Qamarun Qamarun Qamarun Sindan Nabi Qamarun

Wajamil Wajamil Wajamil Sidnan Nabi Wajamil

Walazillullahu Bal Kananura (Allah Allah)

Tanalash Syamsaminhu wal budura (Allah Allah)

Walazillullahu Bal Kananura (Allah Allah)

Tanalash Syamsaminhu wal budura (Allah Allah)

Walam yakunil huda laula zuhura (2×)

wakullulkauni anaruhinuriqoha

Qamarun Qamarun Qamarun Sindan Nabi Qamarun

Wajamil Wajamil Wajamil Sidnan Nabi Wajamil.

Allahumash Sholli Wa Sallim Wa Baarik 'alaih (sholu 'alaih)

~Sholawat off

Semua orang terhipnotis mendengar suara Hafidz yang begitu merdu. Apalagi santri putri banyak yang kesengsem, termasuk Ning Jannah putri sulung dari pemilik ponpes Nurus Salaam.

"Maa syaa Allah, Kang Hafidz."

"Kang Hafidz."

"Subhaanallah, calon imamku."

Bla ... Bla ... Bla ...

Kurang lebihnya seperti itulah pujian dari para santriyat yang menghujani Hafidz. Nurjaminah hanya mendengus kesal, "Ngapain, sih? Dasar norak!" umpatnya pelan.

"Itu tadi, Mas Hafidz." Nurapilah sumringah menepuk paha sahabatnya.

"Ini, lagi! Pake acara manggil dia dengan sebutan Mas segala, huh!" batin gadis berwajah bulat itu diliputi rasa aneh.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel