Ketahuan | Polisi Yang Menyamar (Part 2)


Aku masih bersembunyi di balik rindangnya pohon beringin di tepi jalan. Beberapa orang polisi datang memakai mobil patroli dan membawa preman itu. Bang Riki kembali merapikan bajunya dan menyimpan senpi kembali. Entah kenapa, sore ini sepi. Biasanya, di daerah ini banyak anak sekolah duduk santai.

Kuambil sepeda, lalu mendekati Bang Riki. "Bang!" sapaku, membuat Bang Riki terperanjat.

"Pentolnya habis, Dek," jawabnya seraya menyeka keringat di kening. Wajahnya terlihat serba salah.

"Tenang ... aku pintar menyimpan rahasia," bisikku.

Dia memandangku sebentar, mengerenyitkan kedua alisnya. Lalu, membungkuk membersihkan beberapa tusuk pentol dan sampah yang berceceran di sekitar tempatnya berjualan.

"Abang polisi, 'kan?" tanyaku memandangnya penuh curiga, aku tersenyum lebar.

"Cuma tukang pentol, Dek," sahutnya datar, masih memungut beberapa sampah yang berhamburan.

"Bang, pistolnya mau jatuh," godaku padanya. Bang Riki spontan berdiri tegap, kemudian tersenyum menggeleng. Berjalan mendekati gerobaknya, kemudian mengambil sesuatu yang terbungkus plastik.

"Ini buat penggemar pentol," ucapnya seraya menyerahkan bungkusan itu.

"Ish ... nyogok!"

"Enggak, ini pentol dingin, bisa dikukus, direbus, terserah kamu."

"Nih uangnya Bang. Saya mah enggak mau terima sesuatu yang gratisan apalagi dari laki-laki. Kata Papa, laki-laki kasih sesuatu sama perempuan kebanyakan karena modus!" imbuhku menyerahkan selembar uang.

Dia menghela napas tersenyum kecil, kemudian menyerahkan uang kembalian padaku. "Nama kamu, siapa?" tanya Bang Riki, kali ini nada bicaranya sedikit lembut.

"Celia Vinara. Bang. Panggil saja Celi."

"Nama yang manis, terima kasih sudah mampir membeli pentol buatan saya," ucapnya ramah.

Aku tersenyum bersiap pulang. Karena azan Magrib sebentar lagi akan berkumandang. "Bang, jujur deh. Polisi yang menyamar, kan?" tanyaku masih penasaran.

Tanpa menjawab, Bang Riki tersenyum simpul. Aduh, bisa mati penasaran kalau seperti ini ceritanya. Sepanjang jalan pulang, aku masih memikirkan kejadian tadi. Bang Riki pakai pistol, terus borgol, berkelahinya keren. Jelas, dia polisi, mungkin takut penyamarannya terbongkar kalau dia mengaku, tapi ... kenapa Deri dan kawan-kawan, yang ada di sana lari terbirit-birit?

Teringat senyumannya, berlesung pipi di sebelah kiri. Kira-kira berapa usianya. Kalau dari tampilan, kutebak 21 tahun-an. Apa dia, sudah memiliki pasangan? Entah kenapa, aku jadi berpikiran ke arah sana. Sepertinya senyuman manis Bang Riki sudah membuat candu yang tidak bisa dipahami.

***

Semalaman tidur tidak nyenyak. Ketika guru memberikan pelajaran lanjutan, aku sedikit kesulitan untuk menerimanya. Terlupa kalau hari ini mata pelajaran matematika yang membutuhkan fokus lebih.

"Cel, sudah tau belom Deri dan kawan-kawan ditangkap polisi," seru Rani duduk di atas meja, mengangguku di jam istirahat sekolah.

"Kenapa?" tanyaku datar.

"Enggak ada kasihan ya ih, kamu sama pacar sendiri!" rutuknya.

"Pacar dari Hongkong! Kamu mah, teman apa-an!" sungutku. Rani terkekeh mendengarnya.

"Katanya sih ketangkap tangan lagi beli obat-obatan terlarang. Noh, si penjual preman pasar yang suka malakin anak sekolah," imbuhnya lagi.

"Oh," sahutku datar.

"Ih, kamu mah gitu. Ini berita panas, Cel ... atau kamu lagi pengen makan pentol Babang ganteng, ya? Makanya, tumben istirahat nangkring di kelas. Sisihin uang jajan ni ye ...," godanya mencubit pipiku.

"Kalau iya, kenapa? Pentolnya enak Ran. Mama juga suka," ucapku dengan semangat, saat mendengar nama Bang Riki, senyumannya terlintas begitu saja di kepala.

"Pentolnya, apa orangnya?" goda Rani lagi terbahak-bahak.

"Oy, teman-teman, Celi suka sama Babang pentol ganteng pojok jalan!" teriaknya membuat seisi kelas menatapku. Kemudian, secara bersamaan menggoda. Segera kututup mulut Rani. Dia justru, makin tertawa melihatku yang salah tingkah.

"Berisik!" rutukku pada Rani, yang saat ini mencoba merayuku dengan memberikan sebungkus kripik kentang. Seluruh sekolah tahu, seorang Celli tidak pernah tertarik dengan laki-laki. Bukan tidak suka, hanya menjaga diri. Apa kata dunia, kalau tahu kebenarannya ....

***

Sepulang sekolah, aku tidak sabar ingin bertemu Bang Riki, bukan karena kangen, tapi penasaran ingin menyelidiki lebih dalam tentang dia. Namun, sayang ... yang kutemukan hanya beberapa gadis SMA, sedang berkumpul, sama-sama menunggu untuk membeli pentol atau ingin berjumpa dengan tukang pentol ganteng itu.

Kembali kukayuhkan sepeda untuk pulang. Cacing di perut dari tadi sudah berdemo. Niatnya, hendak makan pentol. Ternyata, pulang gigit jari.

Dalam perjalanan, tiba-tiba, ada seorang pria memakai jaket kulit hitam, mengendarai motor besar, mengiringi laju sepeda yang kukayuh. Perlahan dia membuka kaca helmnya, dan menyapa, "hai ...."

Aku terkejut menatap wajah itu, Bang Riki ... pesonanya membuatku tidak melihat adanya tumpukan pasir. Aku terjungkal dengan luka lecet dan berdarah.

"Maaf Cel, sudah mengangetkanmu." Suaranya terdengar khawatir. Aku mengangguk, masih meringis kesakitan. Bang Riki hendak membantuku berdiri, tapi kutolak. Ingat kata Papa, tidak boleh bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, haram hukumnya. Terlebih kami baru saja kenal.

"Abang antar pulang, ya?" pintanya.

"Enggak usah, Bang. Itu rumah Celi," sahutku menunjuk ke rumah berpagar hijau. Walau ditolak, dia masih tetap memaksa mengantarku pulang.

Sesampainya di depan rumah, Bang Riki langsung pamit. Dia hanya memastikan aku sampai rumah dengan selamat.

"Riki ...," sapa Papa dari arah belakang kami. Bang Riki berbalik dan seketika turun dari motornya.

"Siap, Ndan!" Bang Riki berdiri tegap di hadapan Papa. Ketahuan 'kan, dia memang seorang polisi.


Penulis : Keyza

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel