Jago Bela Diri | Polisi Yang Menyamar (Part 1)


Beberapa hari ini, teman-teman sekolahku terlihat ramai membicarakan desas-desus tukang pentol ganteng. Entah seberapa gantengnya, aku merasa tidak tertarik. Lain halnya kalau pentol yang dijualnya enak. Tentu saja, akan jadi bahan pertimbangan nomor satu.

Setelah pulang sekolah, Rani, sahabatku berencana mengajakku makan pentol. Kami sekaligus ingin membuktikan ucapan teman-teman lain tentang kabar gantengnya tukang pentol itu.

***

"Ganteng beneran, Cel!" seru Rani meremas tanganku. Kalau boleh jujur, Abang itu memang ganteng. Rasanya kurang pantas kalau hanya jadi tukang pentol. Namun, bukan itu yang kami cari di sini, ganjen dengan laki-laki bukan keahlianku.

Lumayan banyak gadis yang ikut antri untuk membeli pentol atau berswafoto dengan tukang pentol yang mereka panggil Bang Riki itu. Nama yang cukup keren untuk si Abang penjual pentol.

Sesekali kuperhatikan, dia lelaki yang sopan. Tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Walau banyak gadis SMA yang merayu, Bang Riki tetap bekerja profesional. Sampai di sini, aku mulai penasaran.

"Bang, pentolnya dua puluh ya, dibungkus! Dia yang bayar," seruku menunjuk ke arah Rani.

"Banyaknya ...!" sungut Rani berbisik. Aku hanya tertawa memandang wajahnya yang mulai panik.

"Kurangi aja Bang jadi sepuluh, kesian temen saya bangkrut," pintaku lagi menatap wajah Bang Riki, dia hanya tersenyum dan menunduk.

"Bang, kenapa jadi tukang, pentol?" tanyaku mulai penasaran.

"Memangnya, kenapa? Pekerjaan yang halal, 'kan?" sahutnya terkekeh.

"Iya juga sih. Lalu ... ah, enggak jadi. Kasih bonus lah Bang, dua atau tiga gitu," rayuku dengan wajah datar. Kulihat beberapa gadis mulai memperhatikan. Saling berbisik. Entah lah ....

"Sudah Dek, tadi saya tambahi lima. Spesial untuk pecinta pentol," jawabnya lagi tersenyum ke arahku. Deg ... mampus, kepelet aku, asli gantengnya tanpa pengawet.

"Bang, jangan manis-manis kenapa kalau senyum," tegur Rani seraya memberikan selembar uang merah pada Bang Riki. Kali ini, Bang Riki tersenyum lebar seraya menggeleng. "Bocah SMA," tuturnya pelan.

Setelah, menerima kembalian. Kami bergegas pulang, masih banyak tugas sekolah yang harus dikerjakan. Sepanjang jalan Rani terus saja bergumam tentang Bang Riki. Sesekali, tertawa sendiri. Aneh ....

***

Tebakanku salah tentang Bang Riki. Tadinya, mengira kalau dia hanya jual tampang, ternyata pentolnya benar-benar enak, padat, dagingnya juga terasa saat masuk mulut. Bahkan, Mama yang ikut mencicipi menyuruhku untuk membeli lagi.

"Enggak tau masih ada apa enggak pentolnya, Ma ...."

"Coba aja dulu ke sana, mama pengen, Cel."

"Siap Ma, tunggu sebentar," pintaku seraya memakai jaket.

Kukayuh sepeda, bersenandung sepanjang jalan. Terlihat dari jauh, gerobak Bang Riki masih berada di sana. Kemungkinan, pentolnya belum habis. Rezeki Mama rupanya, tapi Bang Riki mana? Kenapa, hanya ada gerobaknya saja.

Eh, tunggu!

Kuhentikan laju sepedaku. Perlahan mengintip apa yang dilakukan Bang Riki. Kenapa, terlihat sedang berkelahi? Sepertinya, aku kenal! Itu preman yang biasa nongkrong depan terminal. Beberapa anak lelaki temanku sekolah jua ada di sana. Mereka, terlihat lari terbirit-birit.

Melihat perkelahian Bang Riki dan preman itu, rasanya sedang nonton film action. Jago bela diri rupanya tukang pentol ganteng itu. Aku masih terdiam mengintip perkelahian mereka, lumayan ... tontonan gratis. Untungnya, sore ini sepi.

Eh ... eh ... kenapa Bang Riki mengeluarkan sesuatu? Seperti senjata api. Kemudian, dia memborgol preman tadi.

Jangan ... jangan ... dia polisi yang sedang menyamar.


Penulis : Keyza

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel