Alasan Yang Tepat | Wudhu Berujung Rindu (Part 8)


Setelah sadar gadis berusia 18 tahun itu beristighfar tiada henti, ia mencoba untuk bisa mengendalikan perasaannya. Bagaimana pun Nurapilah tak ingin terbujuk rayuan cinta sebelum halal. Namun, di dasar hati yang paling dalam ia berharap. Kang santri di hadapannya ini mempunyai niat serius, dengan cara meminta restu pada Ummah beserta Kakaknya. Adik dari Hafidz Ikmalus Syihab sangat percaya dan yakin, bahwa segala sesuatu itu pasti ada jalan tersendiri.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh," ucap Nurapilah seraya berlalu mempercepat langkahnya.

Alfian menatap gadis yang melenggang pergi sembari menjawab dengan suara parau, "Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh."

'Dik Nurapilah, kenapa ya? Tidak seperti biasanya? Apa dia marah sama ana? Tapi gak mungkin, deh. Orang tadi dia malu-malu meong, saat ana gombalin. Eits, ana ralat! Bukan ngegombal, lebih tepatnya meluluhkan hati. Wkwk ... Yaudah, berpikir positif Alfian! Bisa jadi 'kan dia lagi ada keperluan, makanya dia ingin cepat-cepat nikah. Waw, nikah? Kok, gak nyambung ya? Ingin cepat sampai barangkali,' benak Alfian. Pria itu berbalik dan bergegas menuju pondok putra.

Bruk! ... Nurapilah terjatuh.

"Astaghfirullah," lirih seseorang.

Gadis bermata blo itu melongo, karena bisa-bisanya ia menabrak Ning Jannah. Saputangan yang sedari tadi ia genggam sudah tidak ada, sepertinya jatuh. Nurapilah memutar bola matanya, netranya terhenti saat melihat 2 buah saputangan yang tergeletak di tanah. Lah, kok bukan satu? Pasti itu punya Ning Jannah. Keduanya tidak bisa dibedakan! Aku harus bagaimana? Aku harus teliti! Karena ini sama persis, takutnya salah ambil 'kan malu. Adik dari Hafidz itu membiarkan Ningnya mengambil duluan. Secara dia 'kan pemilik salah satu saputangan itu, pasti mengenali betul saputangan miliknya.

"Mohon maaf, Ning. Aku tak sengaja."

"Iya, gak papa. Lain kali lebih hati-hati, ya! Saya duluan," balasnya merekahkan senyum, kemudian meraih kain merah muda yang terlipat.

Nurapilah mengangguk manis. Segera mengambil kembali benda titipan sang Kakak, untuk di kasihkan pada sahabatnya. Siapa lagi, kalau bukan Nurjaminah Salamatun Nisa. Ning Jannah pamit padanya, tak lupa mengucap salam.

***

Ning Jannah sedang berada di sebuah garasi mobil, menunggu Bu Nyai dan Pak Rojak. Namun, istri dari Abah Yai itu memberi tahu bahwa sopir pribadi keluarga ndalem lagi sakit. Jadi, untuk hari ini tidak bisa mengantarkan ke pasar.

"Gimana dong, Mii? Jannah 'kan gak bisa nyetir," kedua wanita sholeha itu terdiam sejenak.

Bukan Bu Nyai Salma namanya, jika perihal ini saja menyerah! Kebetulan ada seorang santri putra yang lewat. Beliau mencegatnya dan bertanya, "Assalamu'alaikum, Nak. Apakah di santri putra ada yang bisa nyetir mobil? Kalau ada tolong suruh ke sini, ya!"

"Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh. Nggeh, setahu Fawaz ada Bu."

Santri bernama Fawaz itu melangkah menuju bangunan bertingkat berwarna coklat muda, yang tak lain adalah pondok santriyin. Ia tergopoh-gopoh, karena tidak ingin gurunya menunggu lama. Setibanya di sana, ia melihat sekumpulan santri senior yang tengah berbincang. Tanpa berpikir panjang ia menghampiri mereka dan langsung to the point.

"Assalamu'alaikum, mohon maaf sebelumnya. Fawaz lancang, mengganggu Akang - Akang semua." Serentak kami menjawab salam, lalu menyimak kembali maksud kedatangan santri berusia 14 tahun itu.

"Jadi, tadi gak sengaja. Fawaz ketemu Bu Nyai dan putrinya, beliau bertanya. Katanya di antara Akang semua, siapa yang bisa nyetir mobil? Kalau ada sekarang juga, di suruh ke ndalem," jelas Fawaz.

Semua yang berada di ruangan ini, berbicara satu sama lain. Saling melempar perintah, bukannya tak mau. Namun, belum apa-apa pikiran para santri sudah di liputi ketakutan. Takut kecelakaan, lah. Mogok di tengah jalan, lah. Apapun itu kejadian buruk yang akan menimpa di tengah jalan.

"Astaghfirullah, kalian ini gak boleh gitu," sanggahku memberanikan diri . Lanjutku, " Antum aja, Jihad!" titahku.

Alfian ikut nimbrung, "Iya antum aja, noh. 'Kan antum bisa bawa mobil!"

"Kunaon ka urang? Alim ah keteh sieun gerogi, komo aya Ning Jannah," ujar Jihad di iringi gelak tawa.

Terjemah :
"Kenapa ke ana? Gak mau takutnya nanti gerogi, apalagi ada Ning Jannah," ujar Jihad di iringi gelak tawa.

Plak!

Satu tamparan tepat di jidat si Bule Sunda dan itu perbuatan Alfian. Semua orang terhonyak, termasuk aku. Kenapa pria berpeci motif itu menampar sohibnya sendiri? Lagi-lagi ia memasang wajah serius dan ...

"Ada nyamuk. He," katanya sembari nyengir. Suasana yang awalnya tegang, kian berubah.

"Kenapa gak antum aja, Fidz?" Jihad mencoba bertanya padaku.

Aku harus mencari alasan yang tepat. Agar Jihad mau mengantarkan Bu Nyai dan Ning Jannah, karena aku tahu pria kelahiran Sunda ini sangat menyukai putri sulung Abah Yai. Apa salahnya coba? Seorang Hafidz yang ingin membahagiakan sang sohib.

"Nggak, bisa. Soalnya ada yang belum ana persiapkan untuk acara muhadoroh nanti, iya 'kan?" Aku melirik ke arah sohibku yang satu lagi, siapa lagi kalau bukan Alfian Maulana Faturrahman.

Jihad hanya bisa pasrah, tapi dibalik raut wajahnya itu tersimpan kegembiraan yang tiada tara. Akhirnya ia pergi keluar menuju ndalem. Langkahnya beriringan bersama irama jantung yang tidak bisa dikendalikan.

"Emak. Kunaon jadi dag dig dug ser, kieu? Jihad mah asa ngimpi ieu teh, hudang Jihad! Hudang!" gumam pria berpeci putih itu, masih tak percaya. Dirinya akan mengantar 2 wanita yang ia harapkan, sebagai calon istri dan mertuanya kelak. Aamiin, he.

Terjemah :
"Ibu. Kenapa jadi dag dig dug ser, kayak gini? Jihad berasa sedang mimpi, bangun Jihad! Bangun!" gumam pria berpeci putih itu, masih tak percaya. Dirinya akan mengantar 2 wanita yang ia harapkan, sebagai calon istri dan mertuanya kelak. Aamiin, he.

***

Di sisi lain ...

Tak membutuhkan waktu lama, sahabat Nurjaminah itu sampai di sebuah tempat berukuran minimalis, di dalamnya terdapat alat-alat perlengkapan santri yang tersusun rapi. Dekat lemari jati terlihat seorang gadis yang tengah muroja'ah, Nurapilah mengetuk pintu terlebih dulu.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum." Gadis berwajah bulat itu menoleh ke arah samping, ternyata yang mengucap salam barusan itu Nurapilah Kirania Salsabila.

Majmu' yang sejak tadi ia pegang pun ditempelkan pada dahi beserta mulutnya. Pertanda gadis itu hendak menutup kitabnya, "Wa'alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh, ada apa?"

"Ini, punya Mbak 'kan?" tanya Nurapilah menyodorkan sesuatu. Lanjutnya, "Betulkan, Mbak?"

Yaa Allah ...

Satu bulir bening berhasil jatuh di pelupuk mata Nurjaminah. Ia sangat bahagia saputangan miliknya sudah berada di tangan sahabatnya. Saking senangnya, ia memeluk erat Nurapilah untuk beberapa saat. Alhamdulillah rasa bersalah pada sahabatnya, yang selama ini ia pendam telah berkurang.

"Terima kasih, kamu berhasil menemukan ini."

"Bukan aku, Mbak. Sebenarnya ini titipan dari Mas Hafidz, dia bilang tolong kasih ini pada pemiliknya. Jadi gitu, Mbak," ungkap Nurapilah.

Deg!

Mimik muka Nurjaminah berubah, yang awalnya sumringah menjadi cemberut. Hal itu membuat Nurapilah semakin penasaran, tentang perasaan sahabatnya ini pada sosok Kakak yang begitu ia sayangi.

"Mbak, boleh aku nanya sesuatu?" Nurapilah dengan senyum meneringai. Lanjutnya, "Mbak, suka ya sama Mas Hafidz?"

"Nggak! Nggak, siapa bilang aku suka sama santri yang so alim itu," tukas Nurjaminah memanyunkan bibirnya.

"So alim? Emang apa yang di lakukan Mas Hafidz? Sehingga Mbak menjiplaknya dengan sebutan semacam itu?"

"Jangan pura-pura lugu, deh! Mbak melihat dengan mata kepala sendiri," sangkalnya. Nurapilah kian bingung dengan perkataan sahabatnya.

"Kayaknya, Mbak Minah salah paham deh." Nurjaminah menghiraukau ucapan itu, karena saat ini ia benar-benar cemburu.


Penulis : Puji Siti Salamah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel