Berondong Keren | Suamiku Brondong (Part 4)


Dika memutar bola mata dengan malas. Dia tahu jika pulang ke rumah akan bertemu dengan kakaknya, Rama.

"Sudah jangan berdebat. Rama, biarkan adikmu datang, Mama rindu padanya," ucap sang mama.

"Aku tahu diri, Bang. Aku hanya ingin mengabarkan sesuatu pada kalian. Aku akan menikah dan ingin kalian datang." Dika mengembuskan napas kasar.

Rama menatap dengan sinis adik angkatnya itu. Berbeda dengan mama mereka yang sangat bahagia mendengar berita baik itu.

"Kapan, Nak?" tanya mamanya antusias.

"Belum ditentukan tanggalnya. Insyallah secepatnya," jawab Dika.

"Ck! Penyanyi kafe saja belagu, mau nikah muda. Biaya hidup aja masih susah, gimana menikah? Apa ada, perempuan yang mau diajak susah sama kamu? Modal cinta, mana bisa hidup, " cerca Rama membuat Dika mengepalkan tangannya.

Mamanya mengelus punggung Dika. "Sabar, Dik."

"Apa Abang kurang cukup, melihat aku keluar dari rumah ini? Kenapa abang masih terus menghinaku?"

"Masih tanya, kenapa?" Rama menatap tajam Dika.

Dika hanya diam, sesak itu kini terasa. Rama, orang yang selalu membencinya kini terus menatapnya tajam.

"Aku tahu Bang, aku hanya anak adopsi. Aku sadar."

"Nah, sadar diri, kamu!" seru Rama.

Dika menahan amarahnya, kalau saja tidak mengingat kebaikan orang tua angkatnya, dia sudah membuat pria di hadapannya babak belur.

"Dika, sabar." Wanita tua di sampingnya terus mengusap lembut punggungnya.

"Asal Abang tahu, aku tidak berniat untuk mendapatkan sepeser pun harta papa," ujar Dika penuh penekanan.

"Bagus kalau begitu, kalau kamu sadar diri. Jangan pernah datang lagi ke rumah ini!" teriak Rama.

Dika mengusap pelan punggung tangan wanita yang selama ini mengurusnya dengan kasih sayang.

"Dika pulang dulu, Mama jaga kesehatan, ya. Nanti, Dika kabari Mama kalau acara pernikahan Dika sudab menemukan tanggal," ucapnya.

Lalu Dika melangkah pergi dari rumah yang selama ini membuatnya nyaman. Ada sesak di dada yang tidak bisa diungkapkan.

***

"Sis, maaf, ya, agak lama," ucap Sonia sembari duduk.

"Nggak masalah, aku juga baru datang. Lagi nungguin brondong unyu-unyu bentar lagi naik panggung," ungkap Siska dengan nada setengah centil.

"Amit-amit, tante ganjen dasar."

Sonia membenarkan posisi duduknya. Kepalanya mulai pening memikirkan pernikahannya dengan Mahardika.

Siska menunggu dengan gelisah. Dia tidak sabar menunggu si penyanyi kafe bernyanyi.

"Mba, si ganteng belum manggung?" tanya Siska pada pelayan yang datang menghampiri mereka.

"Oh, Dika?"

Sonia sedikit mengerutkan keningnya saat mendengar nama Dika.

"Iya."

"Belum datang, katanya agak telat."

"Terima kasih, ya."

"Ya."

Tidak lama terlihat seseorang yang ditunggu Siska datang. Para pengunjung wanita pun sudah tidak sabar menunggu si penyanyi itu melantunkan sebuah lagu.

"Maaf, hari ini saya agak telat. Maklum, banyak kegiatan," ucap Dika saat sudah berada di panggung.

Sonia tersentak kaget melihat sosok pria yang berdiri di panggung.

'Jadi, Dika bekerja di kafe ini? Dia penyanyi kafe ini? Astaga, kenapa penampilannya berbeda? Cukup menarik,' gumam Sonia dalam hati.

"Oke, saya agak kurang enak badan hari ini, jadi kita santai aja, ya."

Dika mulai menyanyikan sebuah lagu, sorot matanya menangkap wajah wanita yang tidak asing.

"Lagu ini, saya perembahkan untuk kesayangan saya."

'Sonia.'

🎼🎼
Kesayanganku-Al Ghazali

Dengarlah cinta hatiku remuk redam
Jika tak ada kamu
Menemani aku
Dengarlah cinta ku memanggil namamu
Disetiap malamku
Ku memikirkan kamu

Aku sepi sepi sepi sepi
Jika tak ada kamu
Aku mati mati mati mati
Jika engkau pergi

Dengarlah kesayanganku
Jangan tinggalkan aku
Tak mampu jika ku tanpamu

Dengarlah kesayanganku
Hidup matiku untukmu
Kumohon pertahankan aku

🎼🎼

***

"Ganteng, kan?" tanya Siska.

"Apaan?"

"Dika."

"Kamu tahu nggak sis, kalau Dika itu mahasiswa aku," bisik Sonia.

"Serius?" Siska menatap Sonia dengan mata berbinar.

"Iya, aku serius. Kamu naksir sama dia?"

Siska tertawa renyah mendengar pertanyaan sahabatnya.

"Nggaklah, masa aku suka sama brondong. Masa sadar diri aku sih," kata Siska membuat Sonia menelan salivanya.

'Jadi, kalau aku nikah sama Dika, berarti ... aku nggak tahu diri?' gumamnya dalam hati.

"Woi." Siska mengibaskan tangannya di depan wajah Sonia.

Sonia mengerjapkan mata, kemudian membuang wajahnya saat tidak sengaja netra dia dan Dika saling bertemu.

"Kita pulang." ajak Sonia langsung menarik tangan Siska.

"Mau kemana?" tanya Dika yang sudah berada di samping Sonia.

Wajah Sonia kini menjadi memerah. Dia tidak tahu harus berkata apa saat tiba-tiba Dika datang menghampirinya.

"Kalian saling kenal?" tanya Siska bingung.

"Di--dia, kan mahasiswa aku, Sis. Iy-iya, kan, Dik?" Lengan Sonia sengaja menyenggol Dika.

"Iya, sekaligus ---"

Dika terdiam sesaat ketika Sonia mencubit perutnya.

"Sakit, tau," bisiknya pelan di telinga Sonia.

"Jangan lemes," balas Sonia.

"Kalian, kenapa sih bisik-bisik gitu?" tanya Siska mulai curiga.

"Nggak," jawab mereka berdua kompak.

"Dih, barengan gitu."

Sonia hanya bisa tersenyum memperlihatkan giginya. Lalu menarik cepat lengan Siska dan beranjak keluar kafe.

"Tu--tu-tunggu. Ada yang aneh deh dari kamu," ucap Siska mulai curiga.

"Aneh, gimana?"

"Ya, aneh. Tadi, kamu santai aja pas di kafe, tapi setelah Dika manggung, kamu jadi kaya orang kebingungan gitu. Kenapa sih? Ada sesuatu yang nggak aku tahu?" Sorot mata Siska mulai mengintrogasi Sonia.

Beberapa kali Sonia mengigit bibir bawahnya. Apa yang harus dia katakan pada Siska. Apa dia harus bilang, kalau Dika adalah pria yang akan menikah dengannya.

"Woy, tuh, kan. Kenapa, sih, ayo cerita." Siska masih saja terus mendesak Sonia.

Sonia menarik napas panjang, butuh kekuatan penuh untuk mengakui kalau Dika adalah calon suami yang direstui kedua orang tuanya.

"Dika, yang sore tadi aku ceritaiin." Sonia menundukkan wajah, tidak berani menatap wajah sahabatnya yang pasti sudah mentertawakannya.

"Serius? Astaga."

"Iya," ucap Sonia.

Benar dugaan Sonia, Siska tidak hentinya menertawakan dia. Siska bahkan bilang kalau Sonia beruntung mendapatkan Dika. Namun, Dika musibah mendapatkan perempuan yang umurnya sudah mau kepala tiga.

Sonia hanya mengelus dada melihat sahabatnya hampir menangis karena kebanyakan tertawa.

***

Sedangkan di dalam kafe Dika terus melantunkan beberapa lagu yang membuat para wanita jatuh cinta pada suara juga ketampanannya.

Selesai manggung dia turun dan duduk sambil menyeruput milk shake.

"Bro, nih honor malam ini," ucap Dean sang pemilik kafe.

"Weh, asik. Tumben lebih," ucap Dika saat menghitung uang dalam amplop.

"Lagi bagus aja omset."

Dean adalah pemilik kafe di mana Dika bekerja. Dean juga teman semasa sekolahnya dulu. Mereka berteman sudah sangat lama.

"Pinjem uang ada nggak, Bro?"

"Buat apaan?"

"Nikah."

"Nikah?"

Seketika Dean membuang putung rokoknya dan duduk dengan wajah serius menghadap Dika.

"Nikah sama siapa?" tanyanya lagi.

"Perempuan impian," ucapnya dengan sneyum.

"Yang mana?"

"Dosen di kampus, namanya Sonia."

Dean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Entah apa yang ada dipikiran temannya sekarang.

"Sonia? Udah tua dong?"

"Umur doang tua, wajah sih baby face, Bro," ujar Dika.

Dean kembali menggelengkan kepala. Melihat Dika yang sering menolak wanita cantik di kafe dan malah mau menikah dengan dosennya.

"Emang, stok cewek cakep dan masih muda udah abis, sampe kamu nyari yang lebih tua?" Pertanyaan Dean kali ini membuat Dika jengkel.

"Dia nggak tua, cantik pokoknya seleraku banget."

Dean kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Menepuk pundak Dika lalu sedikit memberikan nasihat. "Ini keputusan berat, hati-hati dalam mengambil keputusan.


Penulis : Chew Vha

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel