Di Pinggir Pantai | Kekasih Halal (Part 4)

 
Jika dia adalah takdirku, aku menerima. Dekatkanlah kami dan persatukan, tetapi jika bukan. Maka jauhkanlah.

***

"Pagi," sapa Hasan ketika Zoya membuka mata untuk pertama kali. Mereka masih berada di kediaman Mahardika dan sekarang, adalah hari terakhir di rumah itu.

Zoya tersenyum sedikit kaku. Rasanya masih aneh dengan kehadiran Hasan di pagi hari. Namun, ia harus biasakan itu. "Kamu, kok, sudah bangun?" Jujur, Zoya masih bingung harus memanggil apa. Jadi lebih baik aku-kamu dulu.

"Nggak pa-pa. Mau bangun lebih awal saja, supaya bisa lihat wajah kamu saat terlelap."

Zoya menanggapi dengan senyuman. Menyibak selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, bersiap membersihkan diri dan melanjutkan kewajiban sebagai umat muslim.

"Mau ke mana?" Hasan memegang lengan Zoya, membuatnya menghentikan langkah menuruni ranjang.

"Mau bersih-bersih, sebentar lagi azan subuh," jawabnya sambil melihat lengannya yang di genggam oleh Hasan.

"Aku ikut, ya," pintanya menatap Zoya lekat, membuat Zoya terbelalak. Ikut bersih-bersih, ke kamar mandi berdua.

"Eum. Kamu mau mandi, ya sudah, duluan nggak pa-pa. Aku masih mau beresin kamar," sahut Zoya sambil menunduk dan berusaha melepas genggaman tangan Hasan.

"Aku maunya sama kamu, Zoya. Kita mandi bersama."

Zoya reflek mendongak dan terbelalak kembali ketika Hasan menarik tangannya dan membuat Zoya terjatuh ke dalam pelukannya. Mata mereka saling beradu. Membuat wanita itu begitu tenang melihat netra milik sang suami. Hasan tersenyum, menurunkan pandangan dan menatap bibir merah milik Zoya. Senyumnya mengembang lebar.

"Boleh, kan, mandi sama kamu?"

"Eh ... maaf, aku .... " Zoya bingung harus menolak seperti apa. "Aku biasa mandi sendiri. Maaf, nggak bisa."

"Kenapa? Kita, kan, suami-istri. Nggak dosa juga mandi bersama."

Zoya menggeleng berkali-kali. Ia tidak bisa mandi bersama dengan Hasan. Ia malu.

Hasan terkekeh melihat pipi Zoya bersemu. Ia hanya ingin menggoda dan rencananya berhasil. Zoya terbelalak kesekian kali ketika Hasan tanpa ragu mengecup pipinya, membuat suatu getaran aneh pada relung hati yang belum tersentuh itu.

"Aku mencintaimu, Zoya, istriku," ungkap Hasan lagi. Zoya tetap diam, tanpa menjawab.

***

"Amira, mbak boleh masuk," ucap Zoya masih di bibir pintu kamar Amira, adiknya.

Amira menoleh sekilas lalu membuang muka. "Mau apa? Katanya mau pergi dari rumah ini, kenapa masih di sini," ketus Amira, tak peduli jika Zoya akan terluka dengan ucapannya.

"Mbak mau pamit sama kamu, cuma kamu yang be--"

Amira menoleh, menatap Zoya dengan tajam. "Nggak perlu, Mbak pergi saja! Amira nggak keberatan."

Zoya masih di tempat. Ia tak bisa meninggalkan rumah jika belum berpamitan dengan semua saudaranya. Amira menoleh, menatap Zoya yang masih berdiri di bibir pintu. "Sudah! Sana keluar. Aku mau istirahat," usir Amira sambil menatap Zoya sengit.

"Amira nggak mau peluk mbak? Setelah ini kita jarang bertemu," tanya Zoya dengan wajah sendu. Ia tahu penyebab kebencian Amira, tetapi tak bisa berbuat lebih supaya adiknya ini mau memaafkan.

"Nggak."

Zoya mendesah pelan, melangkah keluar dan memasang wajah baik-baik saja. Tangis haru mengiringi kepergian Zoya, mama, papa dan saudara seolah tak rela melepas kepergiannya. Bagi mereka rumah akan terasa sepi tanpa wanita itu.

"Ma, jangan menangis. Zoya janji akan sering ke sini. Menjenguk mama, papa dan mbak."

Mama hanya bisa menangis tanpa suara, rasanya begitu berat melepas anak yang sudah berpuluh tahun bersama kita. Namun, mama harus merelakan, Zoya telah berkeluarga dan wajib baginya mengikuti sang suami.

***

Selama perjalanan, Zoya terus menunduk. Ia sedih karena tak bisa berkumpul lagi dengan keluarga, terlebih Amira yang kini membencinya.

"Jangan bersedih, Zoya. Aku janji akan sering membawamu menemui mereka."

Zoya menoleh, menatap Hasan yang hanya fokus pada jalanan. "Maaf," ucapnya masih menatap wajah imamnya.

Hasan tersenyum lebar. Menoleh dan menatap Zoya sekilas. "Enggak pa-pa. Aku tahu kamu sedih karena jauh dari keluarga." Hasan mengangkat sebelah tangannya yang bebas. Mengusap sayang pucuk kepala wanita itu.

Zoya membeku, gelenyar aneh itu muncul kembali membuat pipinya memanas dan bersemu kemerahan. Apa benar, ini Hasan yang dingin itu, tetapi kenapa sikapnya berbeda, bukan seperti Hasan yang ia dengar kaku.

***

Zoya mengernyit dalam. Mereka bukan ke rumah Hasan, melainkan bandara. Gadis bergaun panjang itu menoleh, menatap Hasan yang sedang berjalan di sampingnya.

Merasa diperhatikan, Hasan menoleh. Tersenyum lebar ke arah Zoya. Ia tahu apa yang sedang istrinya pikirkan. "Maaf, lupa kasih tahu kamu. Abi menyuruh kita bulan madu dulu, jadi sekarang kita--"

"Apa, bulan madu? Buat apa?" potong Zoya sebelum Hasan melanjutkan kalimatnya. Mendengar kata bulan madu ia langsung terkejut.

Hasan terkekeh, jujur, ekspresi Zoya sangatlah lucu. "Buat kita, Sayang. Supaya kita bisa lebih dekat lagi dan mengenal lebih jauh."

Zoya menunduk, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Pergi ke mana?"

"Bali, abi yang telah mengatur semuanya."

***

Keduanya telah sampai di Villa yang telah abi siapkan. Villa mungil di pinggir pantai. Zoya tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan, memejamkan mata dan menikmati angin laut menerpa wajahnya. Namun, detik berikutnya Zoya terbelalak, sepasang lengan telah melingkar dengan erat di pinggang. Hasan memeluknya dari belakang, membuat Zoya mematung dengan dada berdebar hebat.

"Ayo, masuk! Ini hampir petang. Udaranya pasti dingin," ucap Hasan yang kini meletakkan kepala di samping wajah Zoya.

Zoya masih dengan posisinya. Menatap lautan luas di depan dengan kedua tangan merentang. Ia masih terkejut dengan pelukan Hasan yang tiba-tiba. Setelah keterkejutannya sedikit mereda, Zoya menoleh. Ia terbelalak kembali ketika bibirnya bertemu dengan bibir Hasan. Hanya sebatas menempel tanpa ada pergerakan lebih.

Di pinggir pantai, depan Villa untuk mereka bulan madu dengan lautan dan debur ombak sebagai saksi. Hasan dan Zoya berciuman untuk pertama kalinya setelah menjalin ikatan halal di mata Tuhan. Langit senja ikut menyaksikan mereka. Keduanya masih terdiam untuk beberapa saat dengan bibir saling menyentuh. Namun, saat berikutnya Zoya lebih dulu memalingkan wajah. Ia malu dan kini semakin berdebar.

"Maaf," ucap Zoya seolah merasa bersalah telah mencium Hasan.

Hasan terkekeh. Mengeratkan pelukan di tubuh Zoya dan mengecup rambut istrinya. "Kenapa minta maaf, aku justru ingin lebih lama dari itu," goda Hasan sambil menatap sang surya yang hendak bersembunyi.

Zoya terdiam. Memejamkan mata dan menormalkan detak jantung. Tanpa sadar kedua tangannya ikut memeluk lengan Hasan di pinggangnya, membuat lelaki itu tersenyum semakin lebar.


Penulis : Wiwin Indrayani

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel