Ekspresi Aneh | Kekasih Halal (Part 3)


Hampir setengah jam Zoya menunggu. Wanita itu masih mengenakan gaun syar'inya--gaun resepsi pernikahan. Riasan di wajah juga masih menempel, Zoya menarik napas, beranjak dari tempatnya dan menuju kamar mandi. Ia harus membersihkan diri sebelum suaminya itu datang.

Zoya berendam dalam bathup. Menghilangkan rasa pegal yang menyerang otot-ototnya. Ia berpikir, mungkin Hasan masih sibuk mengobrol di luar. Hampir setengah jam berendam membuatnya merasa sedikit bugar.

"Pakai apa? Gaun tidur seksi? Enggak. Buat apa pakai itu." Zoya bermonolog sambil memilah pakaian dalam gantungan. Beruntung walk-in closet bersatu dengan kamar mandi, sehingga Zoya tak perlu keluar masuk hanya untuk berganti pakaian, akhirnya, ia memilih pakaian santai. Kaus polos dan celana polos panjang. Sungguh, apa kata Hasan nanti setelah melihat penampilan biasa istrinya. Zoya sepertinya tak peduli, ia akan menggunakan pakaian yang membuat nyaman.

Hasan yang sedang membuka koper mendongak, menatap pintu kamar mandi yang akan terbuka. Dadanya berdebar kencang. Ia penasaran ingin melihat wajah Zoya yang pasti sudah segar dan polos. Pakaian apakah yang akan Zoya kenakan malam ini. Mungkinkah Zoya akan memakai pakaian yang ... lalu apakah mereka akan melakukannya, mungkinkah ia dan Zoya akan ....

"Kamu!" pekik Zoya ketika melihat Hasan sudah berada di dalam kamar. Menatapnya intens seolah sedang menelanjangi. Zoya menunduk, tak mau menatap mata tajam lelaki itu.

"Maaf, lama," ucap Hasan meninggalkan kopernya. Melangkah mendekati Zoya membuat wanita itu semakin gugup.

"Nggak pa-pa. Aku tahu, kok, kamu pasti lagi bicara sama yang lain," jawab Zoya masih menunduk. Ia meremas ujung kausnya ketika langkah Hasan makin mendekat.

Hasan tersenyum lebar. Senyuman yang jarang diperlihatkan kepada orang banyak. Ia terus melangkah mendekati Zoya. Ingin melihat lebih dekat wajah polos istrinya. Ia tak mempermasalahkan pakaian yang Zoya kenakan, karena ia tahu Zoya masih belum terbiasa dengan kehadirannya.

"Kamu mau mandi, 'kan. Silakan! Aku mau beres-beres dulu." Zoya menggeser tubuhnya yang menghalangi pintu kamar mandi. Melangkah cepat menuju meja rias.

Hasan menahan tawa. Ia tahu, wanita itu berniat menjaga jarak. Itu wajar, karena Hasan tahu. Zoya selalu gugup berada di dekatnya. Hasan menoleh. Menatap Zoya yang terduduk di depan meja rias sambil menunduk. Rambut panjangnya tertutupi oleh gulungan handuk. Ia sudah tak sabar ingin melihat penampilan biasa seorang Zoya. Makmumnya.

***

Zoya yang sedang membereskan kamar menoleh. Menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup, melangkah mendekat, karena Hasan memanggil namanya. Masih dengan pintu tertutup, Hasan meminta tolong kepada Zoya untuk mengambilkan pakaian gantinya yang terlupakan. Ia menurut, mengulurkan pakaian Hasan lewat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

Zoya terduduk gusar di depan cermin rias. Hasan masih mengganti pakaiannya di dalam kamar mandi. Menarik napas berulang kali tak juga menghilangkan kegusarannya. Zoya mendongak. Menatap sang suami yang sudah berpakaian dengan lengkap. Baju koko dan sarung. Zoya mengernyit dalam melihat penampilan Hasan. Bukankah kewajiban sholat sudah ditunaikan, lalu untuk apa sekarang lelaki itu berpakaian seperti itu.

Zoya memang tak tahu pakaian yang ia berikan kepada Hasan tadi, karena Hasan melipatnya dengan cukup rapi. Zoya hanya mengambil dan memberikan.

"Mau ngapain?" tanya Zoya kebingungan.
"Ambil wudu', gih! Kita sholat sunnah berjamaah."

Zoya terbelalak. Mendengar kata sholat sunnah di malam pertama membuat Zoya berpikiran jauh. Ia tahu agama dan tak buta soal itu. Meskipun, ia tak berhijab bukan berarti Zoya buta akan agamanya. Zoya menurut. Membantah ucapan suami adalah dosa, itu menurut yang ia ketahui.

***

Zoya mengecup punggung tangan Hasan usai sholat sunnah dua raka'at, lalu pria itu menarik kepala Zoya dan mengecup keningnya cukup lama, membuat wanita itu memejamkan mata. Menikmati kecupan lamat dari sang suami.

"Kamu gugup?" tanya Hasan menahan senyum.

Zoya mengangguk sekali masih dengan menundukkan kepala. Hasan tersenyum lebar. Ia jadi ingin tahu lebih banyak soal sang istri. Zoya menengadahkan kepala ketika Hasan mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertemu membuat dadanya semakin berdebar. Mata tajam dan sipit. Alis tebal nan hitam. Hidung yang mancung dengan bibir yang indah. Sungguh, ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.

Hasan tersenyum lebar membuat Zoya tertegun, yang ia tahu Hasan adalah pria dingin tanpa senyuman. Terlihat jelas dari beberapa foto yang papa berikan sebelum mereka menikah. Namun, kini ia melihat sisi lain dari Hasan.

"Kita sudah halal, kamu nggak perlu gugup seperti itu," terang Hasan supaya Zoya sedikit tenang.

Zoya menunduk lagi, tak tahan jika harus menatap wajah Hasan terlalu lama. Mengucapkan maaf atas sikapnya yang masih belum terbiasa dengan kehadiran pria itu.

Tutur kata yang lembut, wajah menawan, Zoya begitu sempurna di mata Hasan. Wajah dan kulitnya seputih susu. Wajah halus tanpa noda. Bibir yang ranum, apalagi jika tersenyum. Mampu membuat Hasan lupa akan indahnya dunia. Ia bersyukur, langsung menerima tawaran Abi tanpa mau tahu rupa dan nama. Hatinya amat yakin, jika wanita ini adalah takdirnya. Zoya Revana Adiputri Mahardika adalah kekasih halalnya.

Zoya kembali menengadahkan kepala, ketika Hasan membantu melepas mukena yang di pakai. Ia hanya mampu pasrah, tak ingin membantah suami. Hasan tersenyum semakin lebar. Seorang bidadari telah turun ke hadapannya. Wanita cantik dengan rambut kemerahan. Hasan mendekatkan wajah lagi. Menempelkan bibir di atas kening mahramnya. Mengecup lamat dan penuh kasih.

"Ana uhibbuki, ya habibati," ungkap Hasan setelah ciuman terlepas dari kening. Zoya terbelalak, tak tahu harus menjawab apa, secepat itukah. Bahkan, begitu mudah Hasan mengungkapkannya.

***

"Ciee ... pengantin baru. Harusnya di kamar saja. Ngapain keluar?"

Zoya mencebik. Bibir bawahnya maju cemberut. Rutinitasnya setiap pagi adalah memasak dengan sang kakak. Namun, kini ia malah dibully.

"Rambut, kok nggak basah? Jangan-jangan ...." Wanita berhijab biru dongker itu tersenyum jahil. Menggoda pengantin baru rupanya menyenangkan. Zoya makin cemberut. Menulikan telinga, karena harus membuat sarapan untuknya dan Hasan.

"Zoya, kamu sama Hasan nggak ...." Sang kakak mengatupkan mulut, karena Zoya menatapnya tajam dengan wajah kesal.

"Mbak, bisa nggak? Jangan ganggu Zoya dulu. Mau masak ini," dumelnya sambil mengikat rambut asal. Menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng.

"Mbak kepo, Zoya, ingin tahu."

Zoya menoleh. Melotot ke arah sang kakak yang dibalas kekehan. "Mbak Kia, kan, sudah menikah harusnya sudah tahu malam pertama seperti apa," ucap Zoya ketus. Ia kesal dengan sang kakak.

"Iya, sih, tapi, kan, mbak kepo sama malam pertama kalian."

Zoya berdecak pelan. "Mbak sama Mas Ardha dulu gimana? Buat apa masih kepo sama Zoya," lontar Zoya sambil memotong sayuran.

"Wah! seru, Zoya. Lebih seru dari turnamen sepak bola," sahut Ardha yang tiba-tiba muncul di dapur. Menghampiri Kia dan menyapa sang istri. "Pagi istriku," ucapnya sambil mencium kening Kia tanpa segan kepada Zoya.

Zoya mendengkus, melihat pemandangan kakak dan kakak ipar sudah biasa baginya. Mereka selalu mengumbar kemesraan di depan Zoya. "Mata dedek ternodai," cibir Zoya sambil memasak.

Ardha dan Kia tertawa bersama. Zoya adalah gadis lugu. Tutur katanya begitu lembut, tetapi jika dengan orang terdekat akan seperti ini. Kekanak-kanakan dan konyol.

"Dedek apa? Sudah menikah masih mau dipanggil dedek," goda Ardha sambil memeluk Kia dari samping.

Zoya menoleh dan menatap Ardha tajam. Ardha begitu suka menggoda Zoya. Ia menyayangi Zoya layaknya adik kandung. Setelah cukup puas menggoda akhirnya Ardha pergi. Membiarkan kedua wanita cantik itu melanjutkan acara memasaknya.

***

Keluarga Mahardika berkumpul. Mama dan papa Zoya sudah pensiun, urusan perusahaan telah diserahkan sepenuhnya kepada Ardha--menantu sulung mereka. Dalam keluarga Mahardika, kekeluargaan adalah yang utama. Disetiap akhir pekan, semuanya berkumpul. Bercanda dan bercerita.

"Ma, Amira mana?" tanya Zoya ketika tak melihat adik perempuannya itu.

"Lagi jalan sama pacarnya, Mbak. Tadi pamit ke Nafis," sahut gadis berambut sebahu itu--Nafisah, anak terakhir di keluarga Mahardika.

"Kok, cuma ke Nafis pamitnya?" Kali ini Kia yang bertanya. Selaku kakak tertua.

"Mbak, mbak, tadi pada sibuk. Jadi mbak Amira pamitnya ke Nafis. Mama sama papa juga lagi nggak ada."

Mama dan papa menceritakan semuanya, tanpa terkecuali, tak ada yang mereka tutupi dari Hasan. Termasuk ketika perjodohan itu berlangsung. Menjelaskan banyak hal tentang Zoya yang pastinya belum pria itu ketahui.

***

Hasan tersenyum berkali-kali sambil membuka tiap lembar album foto lama di tangan, melihat foto lama milik Zoya. Istrinya memang cantik sejak kecil. Kecantikan yang alami meskipun tanpa polesan make up, Ia mengucap syukur dalam hati. Jawaban iya kepada Abi beberapa minggu lalu membawanya ke dalam kubangan kebahagiaan. Istri yang sempurna dengan wajah sempurna.

Zoya mengernyit dalam, melihat Hasan yang berulang kali tersenyum sambil menunduk. Ia menghampiri Hasan di kamar untuk mengajaknya makan malam bersama. Namun, Zoya dibuat bingung dengan Hasan yang terus tersenyum. Rasanya Zoya tak percaya dengan berita yang pernah ia dengar soal suaminya.

"Hasan Al-Kafhi Mughairoh itu, dia, kan, mau menikah karena perjodohan. Maklum saja dijodohkan, siapa yang akan mau berpacaran dengan pria dingin itu. Tampan, sih, tapi sikap dinginnya itu yang nggak akan buat wanita betah." Zoya masih mengingatnya. Ucapan seseorang di sebuah kafe ketika berita Hasan akan menikah menyebar.

Zoya tersenyum tipis. Seterkenal itukah pria ini. Hingga kabar perjodohannya menjadi viral. Semua mengatakan, Hasan adalah pria dingin, tanpa senyum dan ekspresi. Namun, yang ia lihat malah sebaliknya. Senyuman tipis hingga lebar, ekspresi aneh yang sering Hasan tunjukkan padanya.

"Loh! Kamu ngapain berdiri di situ?"

Zoya terkesiap, dengan wajah gugup ia tersenyum lebar. "Sudah ditunggu yang lain buat makan," ucapnya pelan masih menatap Hasan.

Hasan menutup album foto di pangkuan. Meletakkannya ke atas nakas. "Sini, deh, sebentar! Aku mau bicara," ajak Hasan masih duduk di pinggiran ranjang.

Ragu-ragu Zoya mendekat. Ia menunduk dan melangkah menghampiri, matanya terbelalak melihat sampul album di atas nakas. Zoya mendongak, membuka mulut bersiap melontarkan pertanyaan. Namun, yang keluar malah sebuah pekikan ketika dengan tiba-tiba Hasan menarik lengannya. Membuat tubuh Zoya hilang keseimbangan dan berakhir jatuh di atas pangkuan pria itu.

"Hasan!" pekik Zoya. Berusaha bangkit. Namun, tak bisa.

"Ya, kenapa?" ucapnya berpura-pura. "Kita sudah halal, jadi apa salahnya. Justru dengan seperti ini kita sedang mengumpulkan pahala." Hasan menatap Zoya lamat. Tersenyum manis, melihat pipi Zoya bersemu kemerahan.

"Ana uhibbuki, Ya Humairah," ungkap Hasan, lagi. Membuat Zoya mendongak dan semakin tersipu.


Penulis : Wiwin Indrayani

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel