Cerpen : Puasaku Ibadahku


Ayah ... sepulang kerja ini niatku cuma mampir ke taman bunga. Mencari bunga matahari, akan tetapi bunga matahari kosong.

Aku pun muter muter mencarinya. Pokoknya harus dapat demi seseorang yang aku sayangi. Namun, perjalananku mendadak belok. Lewat jalur yang 'tak biasa. 

Sedikit ragu dan cemas. Akan tetapi kembali lagi niatku mencari bunga matahari. Kembalilah pikiranku lempeng semua firasat hilang.

Kutelusuri Jalan Kaliurang dari km 9, 6 sampai 17 Pakem tidak ketemu. Pikiranku tetap lempeng, cuma pake isting dan logika, kumemulai pencarian bunga matahari. Melewati desa dan masuk gang sampai juga di Merapi Park. E, masih tutup ternyata.

Alhasil sedikit kecewa. Dalam kondisi dingin dengan suhu 26 c. Padahal semalam18 c. Cepat banget naiknya. Batinku mulai berontak dengan suhu dingin. 

Akan tetapi di sela gang besar, netra ini melihat beberapa bunga matahari, dalam rumah. Kuhentikan laju motor lalu sambutan suara ferguso memanggil gug ... gug ... gug ... asem. Kutatap ferguso lalu mencoba masuk rumah.

Ternyata rumah kosong hanya ada alas kaki sang penghuni rumah. Mungkin masih tidur pikirku. Karena suhu tinggi dinginnya, menyebabkan orang malas bangun pagi.

"Permisi"
Gak ada jawaban sampai kuulang tiga kali. Niatku cuma minta izin memotret. Tapi lama banget gak ada yang menyahut. Yaudah dari pada repot-repot dan udah kondisi dingin yang menusuk sela-sela jari. Kuambil Hanphone mulai mempotret satu persatu bunga mataharinya.

Jepret. Berhasil. Tawa bahagiaku dalam hati. Sebuah senyuman tersungging di bibir mengingat bunga matahari yang akan kupersembahkan pada dia. Dia special, kekasih ... sahabat ... perih, bahagia dan senyumku. I Love you.

Akan tetapi selepas perjalanan pulang menuju rumah .... Sampai perempatan pintu masuk. Brug ..." Motor yang aku kendarai tergelincir kerikil. Motor pun oleng menidih kaki dan tangan kananku. Jempolku langsung bengkak warna biru pucat. Luka lecet berdarah. Kaki tidak bisa lempeng, sakit dan bekas ketindihan motor meninggalkan peta.

Ibu-ibu yang nongkrong menunggu tukang sayur pun terkejut dan berlari bergegas menolongku.

" Innalilahi ... haduh ... haduh. Kenapa bisa sih?" Romi.

 Aku tidak menjawab pertanyaan mereka. Hanya memperlihatkan bibir meringis kesakitan. Tangan yang kejang dan ....

"Udah, gak papa, ibu-ibu. Saya baik-baik saja. Terima kasih pertolongannya."

Aku meninggalkan motorku bergegas berjalan sendiri dengan kaki aku seret. Ibu ibu tadi masih melihatku memperbincangkan. Dan salah satu ibu tadi mengantar motorku sampai depan rumah.

Sampai rumah.

Ayahku menyambut dan membrondongi sejumlah pertanyaan tanpa jeda, sambil membawakan segelas teh manis panas.

"Ayah, aku itu puasa."
"Udah batalin aja," pintanya. Melihatku dengan muka memelas. 

"Ogah," jawabku.
Kulemparkan tas ke kursi depan rumah sambil melepas sepatu. Lalu berjemur untuk menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan.

Ibu-ibu dan Ayahku pun asik berbincang tentang peristiwa jatuhnya motor yang aku tumpangi. Selang beberapa menit. Aku pun pamit pada Ayah untuk tidur. Karena udah ngantuk.

Tamat


Penulis : Romi Abdinegara

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel